BIAYA SILUMAN
UJIAN NASIONAL DAN UJIAN SEKOLAH
Oleh : Tikky Suwantikno Sutjiaputra
(Pemerhati dan Praktisi Pendidikan)
Kontroversi pelaksanaan UAN dan Ujian Sekolah selama ini lebih menyorot tentang kewenangan penentuan kelulusan antara pemerintah dan guru di sekolah. Pemerintah menganggap perlu adanya standrarisasi mutu pendidikan di negeri ini dan di satu pihak sekolah merasa bahwa yang paling tahu tentang perkembangan peserta didik adalah guru itu sendiri, apalagi dengan adanya penyempurnaan kurikulum yang ada saat ini, yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, bahwa gurulah yang menyusun kurikulumn sehingga seharusnya guru yang berhak mengujinya.
Namun demikian di tengah kontroversi mengenai kewenangan dan hak menguji dan menentukan kelulusan itu ada satu hal lagi yang luput dari sorotan masyarakat, baik orang tua, siswa dan para pendidik itu sendiri, yaitu mengenai biaya ujian itu sendiri.
Pemerintah sudah mengalokasi dana bagi penyelenggaraan Ujian Nasional melalui APBN dan APBD, namun pemerintah tidak mengalokasikan dana untuk penyelenggaraan ujian sekolah. Celakanya lagi sekalipun dana yang diterima oleh sekolah utuh dari pemerintah (pada prakteknya tidak utuh lagi karena berbagai pungutan di luar ketentuan tanpa tanda terima) sekolah mengganggap bahwa dana yang dianggarkan oleh pemerintah tidak mencukupi. sehingga sekolah menuntut kepada orang tua siswa untuk ikut menanggung biaya ujian, baik ujian nasional maupun ujian sekolah.
Kalau kita perhatikan komponen biaya ujian, baik ujian nasional maupun ujian sekolah, terdapat biaya antara lain :
Pada tingkat persiapan ujian : biaya pembuatan soal, biaya pengetikan soal, dan biaya foto copy atau pencetakan soal, biaya pembuatan kartu peserta ujian, setoran biaya untuk rayon.
Pada pelaksanaan ujian :biaya honor guru yang mengawas ujian, konsumsi guru selama ujian berlangsung, transport guru yang mengawas (baik yang mengawas silang di tempat lain, maupun yang tetap berada di sekolah), transport pengawas dari depdiknas, tim independent dan atau petugas lainnya.
Pada akhir pelaksanaan ujian : biaya honor guru mengoreksi jawaban ujian siswa, biaya verifikasi nilai, biaya pembelian form ijasah / STTB, biaya honor petugas penulis ijasah, biaya pengumuman hasil ujian, biaya fotocopy legalisir ijasah, biaya honor kepala sekolah menandatangani ijasah, biaya pelaporan ujian, dan sebagainya.
Kalau kita mencermati biaya-biaya pelaksanaan ujian tersebut, patut dahi kita berkerut, karena disana kita dapati beberapa komponen biaya yang menurut kacamata pendidikan tidak sesuai peruntukannya.
Lihatlah biaya pembuatan soal, biaya pengetikan soal, biaya honor mengawas ujian, biaya koreksi jawaban ujian, biaya verifikasi nilai, transport mengawas, konsumsi guru selama ujian berlangsung, Pertanyaannya apakah pembuatan soal, koreksi dan menuliskan nilai bukan merupakah tugas utama guru? Mengapa guru harus dibayar lagi untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan?
Yang mengherankan lagi adalah biaya tanda tangan ijasah dan biaya tanda tangan legalisir ijasah untuk kepala sekolah. Apakah memang harus diberikan honor kepada kepala sekolah untuk penandatangan ijasah?
Yang lebih mengejutkan lagi ternyata adanya biaya setoran kepada rayon atau musyawarah kepala sekolah dengan rincian sebagai biaya operasional pelaksanaan ujian yang dibebankan kepada setiap siswa yang besarnya setiap daerah berbeda-beda, tergantung kesepakatan para kepala sekolah. Operasional apa?
Dan yang paling mengejutkan adalah biaya transport pengawas dan atau petugas yang datang ke sekolah untuk memonitor pelaksanaan ujian, bukankah mereka yang ditugaskan ke sekolah-sekolah untuk memonitor pelaksanaan ujian sudah diberikan surat tugas oleh instansi terkait dan sekaligus diberikan biaya transportnya. Kalaupun tidak diberikan biaya transport oleh instansinya, apakah sudah seharusnya dibebankan kepada sekolah (baca = siswa)?
Yang masih dapat diterima oleh akal sehat dari biaya ujian adalah, biaya pembuatan kartu pengenal peserta ujian, biaya cetak / foto copy soal ujian, biaya bahan ujian praktek (kalau ada), biaya alat tulis kantor, amplop soal, dan biaya administrasi sekretariat lainnya. Inipun sebenarnya patut dipertanyaakan, karena biaya-biaya tersebut seharusnya sudah dapat dianggarkan ke dalam biaya pendidikan yang diajukan kepada pemerintah atau yayasan bagi sekolah swasta.
Tidak semua sekolah memberlakukan kebijakan seperti penulis ungkapkan, masih ada sekolah yang menempatkan filosofi seorang guru pada tempatnya, dimana tugas seorang guru itu harus tuntas sampai kepada evaluasi.
Sangat mengerikan dunia pendidikan kita dimasa depan apabila hal seperti penulis ungkapkan tidak segera dibenahi, Ujian Nasional dan Ujian Sekolah bias menjadi embrio bagi perilaku korupsi.
Marilah kita kembali kepada pemahaman filosofi yang benar bagi seorang guru dalam pelaksanaan ujian sekolah, sehingga tidak perlu lagi ada biaya-biaya siluman yang tidak seharusnya dibebankan kepada siswa dan orang tua.
UJIAN NASIONAL DAN UJIAN SEKOLAH
Oleh : Tikky Suwantikno Sutjiaputra
(Pemerhati dan Praktisi Pendidikan)
Kontroversi pelaksanaan UAN dan Ujian Sekolah selama ini lebih menyorot tentang kewenangan penentuan kelulusan antara pemerintah dan guru di sekolah. Pemerintah menganggap perlu adanya standrarisasi mutu pendidikan di negeri ini dan di satu pihak sekolah merasa bahwa yang paling tahu tentang perkembangan peserta didik adalah guru itu sendiri, apalagi dengan adanya penyempurnaan kurikulum yang ada saat ini, yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, bahwa gurulah yang menyusun kurikulumn sehingga seharusnya guru yang berhak mengujinya.
Namun demikian di tengah kontroversi mengenai kewenangan dan hak menguji dan menentukan kelulusan itu ada satu hal lagi yang luput dari sorotan masyarakat, baik orang tua, siswa dan para pendidik itu sendiri, yaitu mengenai biaya ujian itu sendiri.
Pemerintah sudah mengalokasi dana bagi penyelenggaraan Ujian Nasional melalui APBN dan APBD, namun pemerintah tidak mengalokasikan dana untuk penyelenggaraan ujian sekolah. Celakanya lagi sekalipun dana yang diterima oleh sekolah utuh dari pemerintah (pada prakteknya tidak utuh lagi karena berbagai pungutan di luar ketentuan tanpa tanda terima) sekolah mengganggap bahwa dana yang dianggarkan oleh pemerintah tidak mencukupi. sehingga sekolah menuntut kepada orang tua siswa untuk ikut menanggung biaya ujian, baik ujian nasional maupun ujian sekolah.
Kalau kita perhatikan komponen biaya ujian, baik ujian nasional maupun ujian sekolah, terdapat biaya antara lain :
Pada tingkat persiapan ujian : biaya pembuatan soal, biaya pengetikan soal, dan biaya foto copy atau pencetakan soal, biaya pembuatan kartu peserta ujian, setoran biaya untuk rayon.
Pada pelaksanaan ujian :biaya honor guru yang mengawas ujian, konsumsi guru selama ujian berlangsung, transport guru yang mengawas (baik yang mengawas silang di tempat lain, maupun yang tetap berada di sekolah), transport pengawas dari depdiknas, tim independent dan atau petugas lainnya.
Pada akhir pelaksanaan ujian : biaya honor guru mengoreksi jawaban ujian siswa, biaya verifikasi nilai, biaya pembelian form ijasah / STTB, biaya honor petugas penulis ijasah, biaya pengumuman hasil ujian, biaya fotocopy legalisir ijasah, biaya honor kepala sekolah menandatangani ijasah, biaya pelaporan ujian, dan sebagainya.
Kalau kita mencermati biaya-biaya pelaksanaan ujian tersebut, patut dahi kita berkerut, karena disana kita dapati beberapa komponen biaya yang menurut kacamata pendidikan tidak sesuai peruntukannya.
Lihatlah biaya pembuatan soal, biaya pengetikan soal, biaya honor mengawas ujian, biaya koreksi jawaban ujian, biaya verifikasi nilai, transport mengawas, konsumsi guru selama ujian berlangsung, Pertanyaannya apakah pembuatan soal, koreksi dan menuliskan nilai bukan merupakah tugas utama guru? Mengapa guru harus dibayar lagi untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan?
Yang mengherankan lagi adalah biaya tanda tangan ijasah dan biaya tanda tangan legalisir ijasah untuk kepala sekolah. Apakah memang harus diberikan honor kepada kepala sekolah untuk penandatangan ijasah?
Yang lebih mengejutkan lagi ternyata adanya biaya setoran kepada rayon atau musyawarah kepala sekolah dengan rincian sebagai biaya operasional pelaksanaan ujian yang dibebankan kepada setiap siswa yang besarnya setiap daerah berbeda-beda, tergantung kesepakatan para kepala sekolah. Operasional apa?
Dan yang paling mengejutkan adalah biaya transport pengawas dan atau petugas yang datang ke sekolah untuk memonitor pelaksanaan ujian, bukankah mereka yang ditugaskan ke sekolah-sekolah untuk memonitor pelaksanaan ujian sudah diberikan surat tugas oleh instansi terkait dan sekaligus diberikan biaya transportnya. Kalaupun tidak diberikan biaya transport oleh instansinya, apakah sudah seharusnya dibebankan kepada sekolah (baca = siswa)?
Yang masih dapat diterima oleh akal sehat dari biaya ujian adalah, biaya pembuatan kartu pengenal peserta ujian, biaya cetak / foto copy soal ujian, biaya bahan ujian praktek (kalau ada), biaya alat tulis kantor, amplop soal, dan biaya administrasi sekretariat lainnya. Inipun sebenarnya patut dipertanyaakan, karena biaya-biaya tersebut seharusnya sudah dapat dianggarkan ke dalam biaya pendidikan yang diajukan kepada pemerintah atau yayasan bagi sekolah swasta.
Tidak semua sekolah memberlakukan kebijakan seperti penulis ungkapkan, masih ada sekolah yang menempatkan filosofi seorang guru pada tempatnya, dimana tugas seorang guru itu harus tuntas sampai kepada evaluasi.
Sangat mengerikan dunia pendidikan kita dimasa depan apabila hal seperti penulis ungkapkan tidak segera dibenahi, Ujian Nasional dan Ujian Sekolah bias menjadi embrio bagi perilaku korupsi.
Marilah kita kembali kepada pemahaman filosofi yang benar bagi seorang guru dalam pelaksanaan ujian sekolah, sehingga tidak perlu lagi ada biaya-biaya siluman yang tidak seharusnya dibebankan kepada siswa dan orang tua.
No comments:
Post a Comment