Nilai Pedagogis Paulo Freire Dan Masa Depan Pendidikan
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.
Nama & E-mail (Penulis): Ahmadnajip (Mahasiswa di bandungTanggal: 16/07/2003)
Judul Artikel: Nilai Pedagogis Paulo Freire Dan Masa Depan Pendidikan
Topik: Pendidikan Dunia Ketiga
Pendidikan di Indonesia nampaknya sudah tidak berhasil ditinjau dari aspek pedagogis. Dunia pendidikan sekarang dinilai kering dari aspek pedagogis, dan sekolah nampak lebih mekanis sehingga seorang anak sekolah cenderung kerdil karena tidak mempunyai dunianya sendiri . Untuk itu, diperlukan adanya satu upaya baru dalam menjalankan proses belajar mengajar. Baru, dalam pengertian berbeda dari yang selama ini melembaga dalam duni pendidikan kita. Salah satu metode pendidikan yang dinilai tepat dijalankan di dunia ketiga adalah konsep pendidikan Paulo Freire yang menganggap bahwa pendidikan merupakan proses pembebasan .
Mengapa Paulo FreirePaulo Freire dilahirkan 1921 di Recife, salah satu daerah paling miskin dan terbelakang di timur laut Brazil lewat karya pendidikannya dapat kita sebut sebagai bahwa pikirannya mewakili jawaban dari sebuah pikiran kreatif dan hati nurani yang peka akan kesengsaraan dan penderitaan luar biasa kaum tertindas di sekitarnya . Kondisi ketertindasannya di Recife tersebut cukup menggambarkan pola keumuman praktek pendidikan di dunia ketiga, termasuk di Indonesia. Disanalah tumbuhnya kebudayaan bisu dikalangan orang-orang yang tertindas. Lebih jauh Paulo Freire mengungkapkan bahwa proses pendidikan -dalam hal ini hubungan guru-murid- di semua tingkatan identik dengan watak bercerita. Murid lebih menyerupai bejana-bejana yang akan dituangkan air (ilmu) oleh gurunya. Karenanya, pendidikan seperti ini menjadi sebuah kegiatan menabung. Murid sebagai "celengan" dan guru sebagai "penabung". Secara lebih spesifik, Freire menguraikan beberapa ciri dari pendidikan yang disebutnya model pendidikan "gaya bank" tersebut.
1. Guru mengajar, murid diajar.2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.3. Guru berpikir, murid dipikirkan.4. Guru bercerita, murid mendengarkan.5. Guru menentukan peraturan, murid diatur.6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui.7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.8. Guru memilih bahan dan ini pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.9. Guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid.10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka. Sebagai jawaban atas pendidikan gaya bank tersebut, Freire menawarkan bahwa sesungguhnya pendidikan semestinya dilakukan secara dialogis. Proses dialogis ini merupakan satu metode yang masuk dalam agenda besar pendidikan Paulo Freire yang disebutnya sebagai proses penyadaran (konsientisasi). Menurutnya, konsientisasi merupakan proses kemanusiaan yang ekslusif.
Pendidikan Kita Anti RealitasPotret buram pendidikan kita berawal dari hal yang sesungguhnya sangat fundamental. Pendidikan kita tidaklah berangkat dari satu realitas masyarakat didalamnya, bahkan dapat dikatakan jauh dari realitas. Sebagai contoh, realitas kehidupan kita sebagian besar ada di pedesaan dan bekerja di ladang pertanian. Tetapi, kenyataan tersebut tidak digarap dengan baik di setiap jenjang pendidikan kita, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam kegiatan riset. Contoh lainnya dapat kita cermati dalam pendidikan agama di persekolahan. Pendidikan agama diajarkan secara antirealitas. Padahal pluralitas kehidupan beragama kita merupakan realitas yang tidak perlu dipungkiri lagi. Pendidikan agama masih diajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan kebenaran, dan dengan sendirinya menghakimi orang lain yang berbeda agama dengannya. Akibatnya, realitas kehidupan beragama kita kurang berfungsi sebagai pengikat persaudaraan dan membantu menumbuhkan kearifan dan sikap rendah hati untuk saling menghormati dan saling memahami perbedaan yang ada. Pada akhirnya, pluralitas kehidupan beragama lebih cenderung menjadi penyebab konflik yang tak habis-habisnya.
Relitas ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berada dalam kategori miskin dan terbelakang tidak pula dijadikan bahan pijakan untuk menentukan sistem pendidikan di Indonesia. Sekolah sekarang lebih mirip sebagai industri kapitalis daripada sebagai pengemban misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara untuk sekolah tinggi (baca pendidikan tinggi/perguruan tinggi), suatu ketika Menteri Pendidikan Nasional, Malik Fajar, mengemukakan bahwa perkembangan perguruan tinggi negeri (PTN) akhir-akhir ini lebih mirip toko kelontong. PTN kini kian mengecil dan berkeping-keping dengan membuka sekaligus menawarkan aneka program studi jangka pendek dan program ekstensi. Tujuannya jelas, penjualan kelontong itu lebih berorientasi profit (mengejar keuntungan materi) ketimbang pengembangan ilmu.
Fungsi sekolah masa lalu yang mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, kini tak ubahnya lahan bisnis untuk memperoleh keuntungan. Akibatnya, hanya kelompok elit sosial-lah yang yang mendapatkan pendidikan cukup baik. Kaum miskin menjadi kaum marjinal secara terus-menerus. Merekalah yang disebut Paulo Freire sebagai "korban penindasan". Proses penindasan yang sudah mewabah dalam berbagai bidang kehidupan semakin mendapat legitimasi lewat sistem dan metode pendidikan yang paternalistik, murid sebagai obyek pendidikan, intruksisional dan anti dialog. Dengan demikian, pendidikan pada kenyataannya tidak lain daripada proses pembenaran dari praktek-praktek yang melembaga. Secara ekstrim Freire menyebutkan bahwa sekolah tidak lebih dari penjinakan. Digiring kearah ketaatan bisu, dipaksa diam dan keharusannya memahami realitas diri dan dunianya sebagai kaum yang tertindas. Bagi kelompok elit sosial, kesadaran golongan tertindas membahayakan keseimbangan struktur masyarakat hierarkis piramidal.
Metode Dialog : Hadap MasalahKarena penyebab tidak berhasilnya pendidikan kita sebagai akibat dari penerapan metode pendidikan konvensional, anti dialog, proses penjinakan, pewarisan pengetahuan, dan tidak berumber pada satu realitas masyarakat, maka kini tiba saatnya kita untuk merefleksikannya. Mau tidak mau, pendidikan kini harus berangkat dari proses dialogis antar sesama subyek pendidikan. Dialog yang lahir sebagai buah dari pemikiran kritis sebagai refleksi atas realitas. Hanya dialoglah yang menuntut pemikiran kritis dan melahirkan komunikasi. Tanpa komunikasi tidak akan mungkin ada pendidikan sejati. Sebagai respon atas praktek pendidikan anti realitas, Freire mengharuskan bahwa pendidikan harus diarahkan pada proses hadap masalah. Titik tolak penyusunan program pendidikan atau politik harus beranjak dari kekinian, eksistensial, dan konkrit yang mencerminkan aspirasi-aspirasi rakyat. Program tersebut diharapkan akan merangsang kesadaran rakyat dalam menghadapi tema-tema realitas kehidupan. Hal ini sejalan dengan tujuan pembebasan dari pendidikan dialogis. Pendidikan yang membebaskan, menurut Freire, agar manusia merasa sebagai tuan bagi pemikirannya sendiri.
Secara umum praktek pendidikan sebagai mana yang lazim disebut sebagai metode-nilai pedagogis dapat kita rangkum dalam dua kata tadi, dialog dan hadap masalah. Entahpun pengembangan lainnya tentu saja dapat kita lakukan seiring kondisi yang bersangkutan.
Pendidikan Indonesia Masa DepanKetika memimpikan tentang pendidikan masa depan kita tidak dapat melepaskan sejarah masa lalu dan realitas yang melingkupi sekarang. Sejarah mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap pendidikan. Hal ini berarti, perkembangan pendidikan merupakan fungsi perkembangan sejarah masyarakat. Pramoedya Ananta Toer mengemukakan bahwa keengganan kita belajar dari sejarah telah mengakibatkan kita menuai kegagalan sebagai bangsa disaat ini.
Beberapa penyebab diantaranya telah kita simak pada bagian terdahulu. Maka, pendidikan untuk masa depan haruslah mengindikasikan agar dunia pendidikan kita dibebaskan dari suasana bisnis, agen perpanjangan kapitalisme gaya baru : kapitalisme pendidikan. Kurikulum pendidikan juga sudah saatnya berangkat dari sebuah realitas masyarakat, penataan kembali pendidikan agama, penanaman demokrasi dan menumbuhkan pemikiran kritis. Karena tujuan pendidikan juga bukan hanya kognitif semata, maka tinjauan apektif harus pula dijadikan bahan acuan dalam menjalankan proses pendidikan. Pendidikan harus berangkat dan memupuk keterampilan sosial (sosial skills) dan keterampilan hidup (life skills).
Potret pendidikan kita dimasa depan adalah tergantung dari sekarang. Rancangan Undang Undang Sitem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang sampai saat ini tetap menjadi polemik, mudah-mudahan dapat menjawab permasalahan pendidikan kita. Semoga, tidak ada lagi pertanyaan yang menggugat eksistensi lembaga pendidikan seperti yang ungkapkan Roem Topatimasang, "Jika sekarang banyak orang berwatak dan bersikap 'setengah manusia, seperempat binatang, dan seperempat lagi setan', merupakan hasil bentukan sekolah (baca : pendidikan, penulis) ? "
Saya Ahmadnajip setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .
Friday, 8 February 2008
SIKAP DAN PERILAKU GURU YANG PROFESIONAL
SIKAP DAN PERILAKU GURU YANG PROFESIONAL
Judul: SIKAP DAN PERILAKU GURU YANG PROFESIONAL
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): Rustantiningsih (Guru di SDN Anjasmoro 02 Semarang)
Topik: Pendidikan SikapTanggal: 3 Agustus 2007
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Guru merupakan sosok yang begitu dihormati lantaran memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah, pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal (Mulyasa, 2005:10).
Minat, bakat, kemampuan, dan potensi peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individual. Tugas guru tidak hanya mengajar, namun juga mendidik, mengasuh, membimbing, dan membentuk kepribadian siswa guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM).
Ironisnya kekawatiran di dunia pendidikan kini menyeruak ketika menyaksikan tawuran antar pelajar yang bergejolak dimana-mana. Ada kegalauan muncul kala menjumpai realitas bahwa guru di sekolah lebih banyak menghukum daripada memberi reward siswanya. Ada kegundahan yang membuncah ketika sosok guru berbuat asusila terhadap siswanya.
Dunia pendidikan yang harusnya penuh dengan kasih sayang, tempat untuk belajar tentang moral, budi pekerti justru sekarang ini dekat dengan tindak kekarasan dan asusila. Dunia yang seharusnya mencerminkan sikap-sikap intelektual, budi pekerti, dan menjunjung tinggi nilai moral, justru telah dicoreng oleh segelintir oknum pendidik (guru) yang tidak bertanggung jawab. Realitas ini mengandung pesan bahwa dunia guru harus segera melakukan evaluasi ke dalam. Sepertinya, sudah waktunya untuk melakukan pelurusan kembali atas pemahaman dalam memposisikan profesi guru.
Kesalahan guru dalam memahami profesinya akan mengakibatkan bergesernya fungsi guru secara perlahan-lahan. Pergeseran ini telah menyebabkan dua pihak yang tadinya sama-sama membawa kepentingan dan salng membutuhkan, yakni guru dan siswa, menjadi tidak lagi saling membutuhkan. Akibatnya suasana belajar sangat memberatkan, membosankan, dan jauh dari suasana yang membahagiakan. Dari sinilah konflik demi konflik muncul sehingga pihak-pihak didalamnya mudah frustasi lantas mudah melampiaskan kegundahan dengan cara-cara yang tidak benar.
Untuk itulah makalah ini saya susun sebagai bahan kajian bagi guru atau pendidik agar dapat berperilaku dan bersikap profesional dalam menjalankan tugas mulia ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas maka permasalahan yang hendak dikaji adalah:
1. Bagaimana sikap dan perilaku guru yang profesional itu?
2. Mengapa sikap dan perilaku guru bisa menyimpang?
C. Manfaat dan Tujuan
1. Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk:a. Mendeskripsikan penyebab sikap dan perilaku guru bisa menyimpang.b. Mendeskripsikan sikap dan perilaku guru yang profesional.
2. Manfaat penyusunan makalah ini secara:a. Teoretis, untuk mengkaji sikap dan perilaku guru yang profesional.b. Praktis, bermanfaat bagi: (1) para pendidik agar pendidik dapat bersikap dan berperilaku profesional, (2) para kepala sekolah, untuk memberikan pembinaan kepada para pendidik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Sikap dan Perilaku
Thursthoen dalam Walgito (1990: 108) menjelaskan bahwa, sikap adalah gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek. Berkowitz, dalam Azwar (2000:5) menerangkan sikap seseorang pada suatu objek adalah perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi/respon atau kecenderungan untuk bereaksi. Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakan atau menjauhi/menghindari sesuatu.
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa sikap adalah kecenderungan, pandangan, pendapat atau pendirian seseorang untuk menilai suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu objek.
Struktur sikap siswa terhadap konselor terdiri dari tiga komponen yang terdiri atas:
1. Komponen kognitif
Komponen ini berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, dan keyakinan tentang objek. Hal tersebut berkaitan dengan bagaimana orang mempersepsi objek sikap.
2. Komponen afektif
Komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap sikap. Perasaan tersebut dapat berupa rasa senang atau tidak senang terhadap objek, rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.. komponen ini menunjukkan ke arah sikap yaitu positif dan negatif. Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap (Azwar, 2000:26), secara umum komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun pengertian perasaan pribadi seringkali sangat berbeda perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap.
3. Komponen konatif
Komponen ini merupakan kecenderungan seseorang untuk bereaksi, bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Komponen-komponen tersebut di atas merupakan komponen yang membentuk struktur sikap. Ketiga komponen tersebut saling berhubungan dan tergantung satu sama lain. Saling ketergantungan tersebut apabila seseorang menghadapi suatu objek tertentu, maka melalui komponen kognitifnya akan terjadi persepsi pemahaman terhadap objek sikap. Hasil pemahaman sikap individu mengakui dapat menimbulkan keyakinan-keyakinan tertentu terhadap suatu objek yang dapat berarti atau tidak berarti. Dalam setiap individu akan berkembang komponen afektif yang kemudian akan memberikan emosinya yang mungkin positif dan mungkin negatif. Bila penilaiannya positif akan menimbulkan rasa senang, sedangkan penilaian negatif akan menimbulkan perasaan tidak senang. Akhirnya berdasarkan penilaian tersebut akan mempengaruhi konasinya, melalui inilah akan mendapat diketahui apakah individu ada kecenderungan bertindak dalam bertingkah laku, baik hanya secara lisan maupun bertingkah laku secara nyata.
Katz (dalam Walgito, 1990:110) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai empat fungsi, yaitu:
1. Fungsi instrumental atau fungsi penyesuaian, atau fungsi manfaat.
Fungsi ini berkaitan dengan sarana tujuan. Di sini sikap merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Orang memandang sampai sejauh mana objek sikap dapat digunakan sebagai sarana dalam mencapai tujuan. Bila objek sikap dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuannya, maka orang akan bersikap positif terhadap objek sikap tersebut. Demikian sebaliknya bila objek sikap menghambat dalam pencapaian tujuan, maka orang akan bersikap negatif terhadap objek sikap tersebut. Fungsi ini juga disebut fungsi manfaat, yang artinya sampai sejauh mana manfaat objek sikap dalam mencapai tujuan. Fungsi ini juga disebut sebagai fungsi penyesuaian, artinya sikap yang diambil seseorang akan dapat menyesuaikan diri secara baik terhadap sekitarnya.
2. Fungsi pertahanan ego
Ini merupakan sikap yang diambil oleh seseorang demi untuk mempertahankan ego atau akunya. Sikap diambil seseorang pada waktu orang yang bersangkutan terancam dalam keadaan dirinya atau egonya, maka dalam keadaan terdesak sikapnya dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego.
3. Fungsi ekspresi nilai
Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu untuk mengekspresikan nilai yang ada dalam dirinya. Dengan mengekspresikan diri seseorang akan mendapatkan kepuasan dan dapat menunjukkan keadaan dirinya. Dengan mengambil nilai sikap tertentu, akan dapat menggambarkan sistem nilai yang ada pada individu yang bersangkutan.
4. Fungsi pengetahuan
Fungsi ini mempunyai arti bahwa setiap individu mempunyai dorongan untuk ingin tahu. Dengan pengalamannya yang tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu, akan disusun kembali atau diubah sedemikian rupa sehingga menjadi konsisten. Ini berarti bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu objek, menunjukkan tentang pengetahuan orang tersebut objek sikap yang bersangkutan.
Proses timbulnya atau terbentuknya sikap dapat dilihat pada bagan sikap berikut ini:Faktor Internal- Fisiologis- Psikologis
Objek Sikap
Sikap
Faktor Eksternal- Pengalaman- Situasi- Norma-norma- Hambatan- Pendorong
Reaksi
Bagan 1 : Bagan Proses Timbulnya Sikap
Dari bagan di atas tersebut dapat dikembangkan bahwa sikap yang ada pada diri seseorang akan dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor fisiologis dan psikologis serta faktor eksternal. Faktor eksternal dapat berwujud situasi yang dihadapi oleh individu, norma-norma yang ada dalam masyarakat, hambatan-hambatan atau pendorong-pendorong yang ada dalam masyarakat. Semuanya ini akan berpengaruh terhadap sikap yang ada pada diri seseorang.Sementara itu reaksi yang diberikan individu terhadap objek sikap dapat bersifat positif, tetapi juga dapat bersifat negatif. Sikap yang diambil pada diri individu dapat diikuti dalam bagan berikut ini:
Keyakinan
Proses Belajar
Cakrawala
Pengalaman
Pengetahuan
Objek Sikap
Persepsi
Faktor- Faktor lingkungan yang berpengaruh
Kepribadian
Kognisi
Afeksi
Konasi
Sikap
Bagan 2 : Bagan Perseps dikutip dari Mar'at (1982:23) dengan perubahan.
Dilihat dari bagan di atas dapat dijelaskan bahwa sikap akan dipersepsi oleh individu dan hasil persepsi akan dicerminkan dalam sikap yang diambil oleh individu yang bersangkutan. Dalam persepsi objek sikap individu akan dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, keyakinan, proses belajar, dan hasil proses persepsi ini akan merupakan pendapat atau keyakinan individu mengenai objek sikap dan ini berkaitan dengan segi kognisi. Afeksi akan mengiringi hasil kognisi terhadap objek sikap sebagai aspek evaluatif, yang dapat bersifat positif atau negatif. Hasil evaluasi aspek afeksi akan mengait segi konasi, yaitu merupakan kesiapan untuk memberikan respon terhadap objek sikap, kesiapan untuk bertindak dan untuk berperilaku. Keadaan lingkungan akan memberikan pengaruh terhadap objek sikap maupun pada individu yang bersangkutan.
Bringham dalam Azwar (2000:138) menjelaskan tipe ukuran sikap yang paling sering dipakai adalah questioner self-report yang disebut skala sikap dan biasanya meliputi respon setuju atau tidak dalam beberapa kelompok-kelompok. Ukuran self-report mudah digunakan namun ukuran itu dapat memiliki sifat kemenduaan (ambiguity) atau adanya ukuran lain. Sikap dari skala sikap ini adalah isi pernyataan yang berupa pernyataan langsung yang jelas tujuan ukuran atau pernyataan tidak langsung yang kurang jelas untuk tujuan ukurannya bagi responden.
Mengukur sikap bukan suatu hal yang mudah sebab sikap adalah kecenderungan, pandangan pendapat, atau pendirian seseorang untuk meneliti suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya, dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu objek. Dalam penelitian sikap, tergantung pada kepekaan dan kecermatan pengukurannya. Perlu diperhatikan metode yang berhubungan dengan pengukuran sikap, bagaimana instrumen itu dapat dikembangkan dan digunakan untuk mengukur sikap. Azwar (2000:90) menjelaskan bahwa, metode yang bisa digunakan untuk pengungkapan sikap yaitu:
1. Observasi perilaku
Kalau seseorang menampakkan perilaku yang konsisten (terulang) misalnya tidak pernah mau diajak nonton film Indonesia, bukanlah dapat disimpulkan bahwa ia tidak menyukai film Indonesia. Orang lain yang selalu memakai baju warna putih, bukankah dia memperlihatkan sikapnya terhadap warna putih. Perilaku tertentu bahkan kadang-kadang sengaja ditampakkan untuk menyembunyikan sikap yang sebenarnya. Dengan demikian, perilaku yang diamati mungkin saja dapat menjadi indikator sikap dalam kontek situasional tertentu, tetapi interpretasi sikap warna sangat berhati-hati apabila hanya didasarkan dari pengamatan terhadap perilaku yang ditampakkan oleh seseorang.
2. Pertanyaan langsung
Asumsi yang mendasari metode pertanyaan langsung guna pengungkapan sikap, pertama adalah asumsi bahwa individu merupakan orang yang paling tahu mengenai dirinya sendiri, dan kedua adalah asumsi keterusterangan bahwa manusia akan mengemukakan secara terbuka apa yang dirasakannya.
3. Pengungkapan langsung
Suatu metode pertanyaan langsung adalah pengungkapan langsung (direct assessment) secara tertulis yang dapat dilakukan dengan menggunakan item tunggal maupun dengan menggunakan item ganda. Prosedur pengungkapan langsung dengan item ganda sangat sederhana. Responden diminta untuk menjawab langsung suatu pernyataan sikap tertulis dengan memberi tanda setuju atau tidak setuju. Penyajian dan pemberian respondennya yang dilakukan secara tertulis memungkinkan individu untuk menyatakan sikap secara lebih jujur. Pengukuran sikap yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pengungkapan langsung yaitu dengan menggunakan skala psikologis yang diberikan pada objek.
B. Sikap dan Perilaku Guru yang Profesional
Pemerintah sering melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru, antara lain melalui seminar, pelatihan, dan loka karya, bahkam melalui pendidikan formal bahkan dengan menyekolahkan guru pada tingkat yang lebih tinggi. Kendatipun dalam pelakansaannya masih jauh dari harapan, dan banyak penyimpangan, namun paling tidak telah menghasilkan suatu kondisi yang yang menunjukkan bahwa sebagian guru memiliki ijazah perguruan tinggi.
Latar belakang pendidikan ini mestinya berkorelasi positif dengan kualitas pendidikan, bersamaan dengan faktor lain yang mempengaruhi. Walaupun dalam kenyataannya banyak guru yang melakukan kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang seringkali tidak disadari oleh guru dalam pembelajaran ada tujuh kesalahan. Kesalahan-kesalahan itu antara lain:
mengambil jalan pintas dalam pembelajaran,
menunggu peserta didik berperilaku negatif,
menggunakan destruktif discipline,
mengabaikan kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan individu) peserta didik,
merasa diri paling pandai di kelasnya,
tidak adil (diskriminatif), serta
memaksakan hak peserta didik (Mulyasa, 2005:20).
Untuk mengatasi kesalahan-kesalahan tersebut maka seorang guru yang profesional harus memiliki empat kompetensi. Kompetensi tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dosen dan Guru, yakni:
kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik,
kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik,
kompetensi profesional adalah kamampuan penguasaan materi pelajaran luas mendalam,
kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Sikap dikatakan sebagai suatu respons evaluatif. Respon hanya akan timbul, apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang dikehendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbul didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik buruk, positif negati, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 2000: 15).
Sedangkan perilaku merupakan bentuk tindakan nyata seseorang sebagai akibat dari adanya aksi respon dan reaksi. Menurut Mann dalam Azwar (2000) sikap merupakan predisposisi evaluatif yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap semata namun juga ditentukan faktor eksternal lainnya.
Menurut penuturan R.Tantiningsih dalam Wawasan 14 Mei 2005, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan agar beberapa sikap dan perilaku menyimpang dalam dunia pendidikan dapat hindari, diantaranya: Pertama, menyiapakan tenaga pendidik yang benar-benar profesional yang dapat menghormati siswa secara utuh. Kedua, guru merupakan key succes factor dalam keberhasilan budi pekerti. Dari guru siswa mendapatkan action exercise dari pembelajaran yang diberikan. Guru sebagai panutan hendaknya menjaga image dalam bersikap dan berperilaku. Ketiga, Budi pekerti dijadikan mata pelajaran khusus di sekolah. Kempat, adanya kerjasama dan interaksi yang erat antara siswa, guru (sekolah), dan orang tua.
Terkait dengan hal di atas, Hasil temuan dari universitas Harvard bahwa 85 % dari sebab-sebab kesuksesan, pencapaian sasaran, promosi jabatan, dan lain-lain adalah karena sikap-sikap seseorang. Hanya 15 % disebabkan oleh keahlian atau kompetensi teknis yang dimiliki (Ronnie, 2005:62).
Namun sayangnya justru kemampuan yang bersifat teknis ini yang menjadi primadona dalam istisusi pendidikan yang dianggap modern sekarang ini. Bahkan kompetensi teknis ini dijadikan basis utama dari proses belajar mengajar. Jelas hal ini bukan solusi, bahkan akan membuat permasalahan semakin menjadi. Semakin menggelembung dan semakin sulit untuk diatasi.
Menurut Danni Ronnie M ada enam belas pilar agar guru dapat mengajar dengan hati. Keenam belas pilar tersebut menekankan pada sikap dan perilaku pendidik untuk mengembangkan potensi peserta didik. Enam belas pilar pembentukan karakter yang harus dimiliki seorang guru, antara lain:
kasih sayang,
penghargaan,
pemberian ruang untuk mengembangkan diri,
kepercayaan,
kerjasama,
saling berbagi,
saling memotivasi,
saling mendengarkan,
saling berinteraksi secara positif,
saling menanamkan nilai-nilai moral,
saling mengingatkan dengan ketulusan hati,
saling menularkan antusiasme,
saling menggali potensi diri,
saling mengajari dengan kerendahan hati,
saling menginsiprasi,
saling menghormati perbedaan.
Jika para pendidik menyadari dan memiliki menerapkan 16 pilar pembangunan karakter tersebut jelas akan memberikan sumbangsih yang luar biasa kepada masyarakat dan negaranya.
C. Faktor Penyebab Sikap dan Perilaku Guru Menyimpang
Pendidikan merupakan upaya untuk mencerdaskan anak bangsa. Berbagai upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan telah dilaksanakan walapun belum menunjukkan hasil yang optimal. Pendidikan tidak bisa lepas dari siswa atau peserta didik. Siswa merupakan subjek didik yang harus diakui keberadaannya. Berbagai karakter siswa dan potensi dalam dirinya tidak boleh diabaikan begitu saja. Tugas utama guru mendidik dan mengembangkan berbagai potensi itu.
Jika ada pendidik (guru) yang sikap dan perilakunya menyimpang karena dipengaruhi beberapa faktor. Pertama, adanya malpraktik (meminjam istilah Prof Mungin) yaitu melakukan praktik yang salah, miskonsep. Guru salah dalam menerapkan hukuman pada siswa. Apapun alasannya tindakan kekerasan maupun pencabulan guru terhadap siswa merupakan suatu pelanggaran.
Kedua, kurang siapnya guru maupun siswa secara fisik, mental, maupun emosional. Kesiapan fisik, mental, dan emosional guru maupun siswa sangat diperlukan. Jika kedua belah pihak siap secara fisik, mental, dan emosional, proses belajar mengajar akan lancar, interaksi siswa dan guru pun akan terjalin harmonis layaknya orang tua dengan anaknya.
Ketiga, kurangnya penanaman budi pekerti di sekolah. Pelajaran budi pekerti sekarang ini sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada sifatnya hanya sebagai pelengkap, lantaran diintegrasikan dengan berbagai mata pelajaran yang ada. Namun realitas di lapangan pelajaran yang didapat siswa kabanyakan hanya dijejali berbagai materi. Sehingga nilai-nilai budi pekerti yang harus diajarkan justru dilupakan.
Selain dari ketiga faktor di atas, juga dipengaruhi oleh tipe-tipe kejiwaan seperti yang diungkapkan Plato dalam "Tipologo Plato", bahwa fungsi jiwa ada tiga, yaitu: fikiran, kemauan, dan perasaan. Pikiran berkedudukan di kepala, kemauan berkedudukan dalam dada, dan perasaan berkedudukan dalam tubuh bagian bawah. Atas perbedaan tersebut Plato juga membedakan bahwa pikiran itu sumber kebijakasanaan, kemauan sumber keberanian, dan perasaan sumber kekuatan menahan hawa nafsu.
Jika pikiran, kemauan, perasaan tidak sinkron akan menimbulkan permasalahan. Perasaan tidak dapat mengendalikan hawa nafsu, akibatnya kemauan tidak terkendali dan pikiran tidak dapat berpikir bijak. Agar pendidikan di Indonesia berhasil, paling tidak pendidik memahami faktor-faktor tersebut. Kemudian mampu mengantisipasinya dengan baik. Sehingga kesalahan-kesalahan guru dalam sikap dan perilaku dapat dihindari.
Bagaimanapun juga kualitas pendidikan di Indonesia harus mampu bersaing di dunia internasional. Sikap dan perilaku profesional seorang pendidik akan mampu membawa dunia pendidikan lebih berkualitas. Dengan demikian diharapkan mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional Indonesia yaitu membentuk manusia Indonesia seutuhnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap dan perilaku guru yang profesional adalah mampu menjadi teladan bagi para peserta didik, mampu mengembangkan kompetensi dalam dirinya, dan mampu mengembangkan potensi para peserta didik. Sikap dan perilaku guru yang profesional mencakup enam belas pilar dalam pembangun karakter. Keenam belas pilar tersebut, yakni kasih sayang, penghargaan, pemberian ruang untuk mengembangkan diri, kepercayaan, kerjasama, saling berbagi, saling memotivasi, saling mendengarkan, saling berinteraksi secara positif, saling menanamkan nilai-nilai moral, saling mengingatkan dengan ketulusan hati, saling menularkan antusiasme, saling menggali potensi diri, saling mengajari dengan kerendahan hati, saling menginsiprasi, saling menghormati perbedaan.
Sikap dan perilaku guru dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhinya berupa faktor eksternal dan internal. Oleh karena itu pendidik harus mampu mengatasi apabila kedua faktor tersebut menimbulkan hal-hal yang negatif.
B. Saran
Para pendidik, calon pendidik, dan pihak-pihak yang terkait hendaknya mulai memahami, menerapkan, dan mengembangkan sikap-sikap serta perilaku dalam dunia pendidikan melalui teladan baik dalam pikiran, ucapan, dan tindakan.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar Saifuddin, 2000. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mar'at, 1981. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukuran. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Mulyasa, 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ronnie M. Dani, 2005. Seni Mengajar dengan Hati. Jakarta: Alex Media Komputindo.
R. Tantiningsih, 2005. Guru Cengkiling dan Amoral. Koran Harian Sore Wawasan. 14 Mei 2005.
Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: BP. Media Pustaka Mandiri.
Walgito, Bimo 1990. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.
Saya Rustantiningsih setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .
Judul: SIKAP DAN PERILAKU GURU YANG PROFESIONAL
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): Rustantiningsih (Guru di SDN Anjasmoro 02 Semarang)
Topik: Pendidikan SikapTanggal: 3 Agustus 2007
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Guru merupakan sosok yang begitu dihormati lantaran memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah, pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal (Mulyasa, 2005:10).
Minat, bakat, kemampuan, dan potensi peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individual. Tugas guru tidak hanya mengajar, namun juga mendidik, mengasuh, membimbing, dan membentuk kepribadian siswa guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM).
Ironisnya kekawatiran di dunia pendidikan kini menyeruak ketika menyaksikan tawuran antar pelajar yang bergejolak dimana-mana. Ada kegalauan muncul kala menjumpai realitas bahwa guru di sekolah lebih banyak menghukum daripada memberi reward siswanya. Ada kegundahan yang membuncah ketika sosok guru berbuat asusila terhadap siswanya.
Dunia pendidikan yang harusnya penuh dengan kasih sayang, tempat untuk belajar tentang moral, budi pekerti justru sekarang ini dekat dengan tindak kekarasan dan asusila. Dunia yang seharusnya mencerminkan sikap-sikap intelektual, budi pekerti, dan menjunjung tinggi nilai moral, justru telah dicoreng oleh segelintir oknum pendidik (guru) yang tidak bertanggung jawab. Realitas ini mengandung pesan bahwa dunia guru harus segera melakukan evaluasi ke dalam. Sepertinya, sudah waktunya untuk melakukan pelurusan kembali atas pemahaman dalam memposisikan profesi guru.
Kesalahan guru dalam memahami profesinya akan mengakibatkan bergesernya fungsi guru secara perlahan-lahan. Pergeseran ini telah menyebabkan dua pihak yang tadinya sama-sama membawa kepentingan dan salng membutuhkan, yakni guru dan siswa, menjadi tidak lagi saling membutuhkan. Akibatnya suasana belajar sangat memberatkan, membosankan, dan jauh dari suasana yang membahagiakan. Dari sinilah konflik demi konflik muncul sehingga pihak-pihak didalamnya mudah frustasi lantas mudah melampiaskan kegundahan dengan cara-cara yang tidak benar.
Untuk itulah makalah ini saya susun sebagai bahan kajian bagi guru atau pendidik agar dapat berperilaku dan bersikap profesional dalam menjalankan tugas mulia ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas maka permasalahan yang hendak dikaji adalah:
1. Bagaimana sikap dan perilaku guru yang profesional itu?
2. Mengapa sikap dan perilaku guru bisa menyimpang?
C. Manfaat dan Tujuan
1. Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk:a. Mendeskripsikan penyebab sikap dan perilaku guru bisa menyimpang.b. Mendeskripsikan sikap dan perilaku guru yang profesional.
2. Manfaat penyusunan makalah ini secara:a. Teoretis, untuk mengkaji sikap dan perilaku guru yang profesional.b. Praktis, bermanfaat bagi: (1) para pendidik agar pendidik dapat bersikap dan berperilaku profesional, (2) para kepala sekolah, untuk memberikan pembinaan kepada para pendidik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Sikap dan Perilaku
Thursthoen dalam Walgito (1990: 108) menjelaskan bahwa, sikap adalah gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek. Berkowitz, dalam Azwar (2000:5) menerangkan sikap seseorang pada suatu objek adalah perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi/respon atau kecenderungan untuk bereaksi. Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakan atau menjauhi/menghindari sesuatu.
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa sikap adalah kecenderungan, pandangan, pendapat atau pendirian seseorang untuk menilai suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu objek.
Struktur sikap siswa terhadap konselor terdiri dari tiga komponen yang terdiri atas:
1. Komponen kognitif
Komponen ini berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, dan keyakinan tentang objek. Hal tersebut berkaitan dengan bagaimana orang mempersepsi objek sikap.
2. Komponen afektif
Komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap sikap. Perasaan tersebut dapat berupa rasa senang atau tidak senang terhadap objek, rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.. komponen ini menunjukkan ke arah sikap yaitu positif dan negatif. Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap (Azwar, 2000:26), secara umum komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun pengertian perasaan pribadi seringkali sangat berbeda perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap.
3. Komponen konatif
Komponen ini merupakan kecenderungan seseorang untuk bereaksi, bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Komponen-komponen tersebut di atas merupakan komponen yang membentuk struktur sikap. Ketiga komponen tersebut saling berhubungan dan tergantung satu sama lain. Saling ketergantungan tersebut apabila seseorang menghadapi suatu objek tertentu, maka melalui komponen kognitifnya akan terjadi persepsi pemahaman terhadap objek sikap. Hasil pemahaman sikap individu mengakui dapat menimbulkan keyakinan-keyakinan tertentu terhadap suatu objek yang dapat berarti atau tidak berarti. Dalam setiap individu akan berkembang komponen afektif yang kemudian akan memberikan emosinya yang mungkin positif dan mungkin negatif. Bila penilaiannya positif akan menimbulkan rasa senang, sedangkan penilaian negatif akan menimbulkan perasaan tidak senang. Akhirnya berdasarkan penilaian tersebut akan mempengaruhi konasinya, melalui inilah akan mendapat diketahui apakah individu ada kecenderungan bertindak dalam bertingkah laku, baik hanya secara lisan maupun bertingkah laku secara nyata.
Katz (dalam Walgito, 1990:110) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai empat fungsi, yaitu:
1. Fungsi instrumental atau fungsi penyesuaian, atau fungsi manfaat.
Fungsi ini berkaitan dengan sarana tujuan. Di sini sikap merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Orang memandang sampai sejauh mana objek sikap dapat digunakan sebagai sarana dalam mencapai tujuan. Bila objek sikap dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuannya, maka orang akan bersikap positif terhadap objek sikap tersebut. Demikian sebaliknya bila objek sikap menghambat dalam pencapaian tujuan, maka orang akan bersikap negatif terhadap objek sikap tersebut. Fungsi ini juga disebut fungsi manfaat, yang artinya sampai sejauh mana manfaat objek sikap dalam mencapai tujuan. Fungsi ini juga disebut sebagai fungsi penyesuaian, artinya sikap yang diambil seseorang akan dapat menyesuaikan diri secara baik terhadap sekitarnya.
2. Fungsi pertahanan ego
Ini merupakan sikap yang diambil oleh seseorang demi untuk mempertahankan ego atau akunya. Sikap diambil seseorang pada waktu orang yang bersangkutan terancam dalam keadaan dirinya atau egonya, maka dalam keadaan terdesak sikapnya dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego.
3. Fungsi ekspresi nilai
Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu untuk mengekspresikan nilai yang ada dalam dirinya. Dengan mengekspresikan diri seseorang akan mendapatkan kepuasan dan dapat menunjukkan keadaan dirinya. Dengan mengambil nilai sikap tertentu, akan dapat menggambarkan sistem nilai yang ada pada individu yang bersangkutan.
4. Fungsi pengetahuan
Fungsi ini mempunyai arti bahwa setiap individu mempunyai dorongan untuk ingin tahu. Dengan pengalamannya yang tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu, akan disusun kembali atau diubah sedemikian rupa sehingga menjadi konsisten. Ini berarti bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu objek, menunjukkan tentang pengetahuan orang tersebut objek sikap yang bersangkutan.
Proses timbulnya atau terbentuknya sikap dapat dilihat pada bagan sikap berikut ini:Faktor Internal- Fisiologis- Psikologis
Objek Sikap
Sikap
Faktor Eksternal- Pengalaman- Situasi- Norma-norma- Hambatan- Pendorong
Reaksi
Bagan 1 : Bagan Proses Timbulnya Sikap
Dari bagan di atas tersebut dapat dikembangkan bahwa sikap yang ada pada diri seseorang akan dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor fisiologis dan psikologis serta faktor eksternal. Faktor eksternal dapat berwujud situasi yang dihadapi oleh individu, norma-norma yang ada dalam masyarakat, hambatan-hambatan atau pendorong-pendorong yang ada dalam masyarakat. Semuanya ini akan berpengaruh terhadap sikap yang ada pada diri seseorang.Sementara itu reaksi yang diberikan individu terhadap objek sikap dapat bersifat positif, tetapi juga dapat bersifat negatif. Sikap yang diambil pada diri individu dapat diikuti dalam bagan berikut ini:
Keyakinan
Proses Belajar
Cakrawala
Pengalaman
Pengetahuan
Objek Sikap
Persepsi
Faktor- Faktor lingkungan yang berpengaruh
Kepribadian
Kognisi
Afeksi
Konasi
Sikap
Bagan 2 : Bagan Perseps dikutip dari Mar'at (1982:23) dengan perubahan.
Dilihat dari bagan di atas dapat dijelaskan bahwa sikap akan dipersepsi oleh individu dan hasil persepsi akan dicerminkan dalam sikap yang diambil oleh individu yang bersangkutan. Dalam persepsi objek sikap individu akan dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, keyakinan, proses belajar, dan hasil proses persepsi ini akan merupakan pendapat atau keyakinan individu mengenai objek sikap dan ini berkaitan dengan segi kognisi. Afeksi akan mengiringi hasil kognisi terhadap objek sikap sebagai aspek evaluatif, yang dapat bersifat positif atau negatif. Hasil evaluasi aspek afeksi akan mengait segi konasi, yaitu merupakan kesiapan untuk memberikan respon terhadap objek sikap, kesiapan untuk bertindak dan untuk berperilaku. Keadaan lingkungan akan memberikan pengaruh terhadap objek sikap maupun pada individu yang bersangkutan.
Bringham dalam Azwar (2000:138) menjelaskan tipe ukuran sikap yang paling sering dipakai adalah questioner self-report yang disebut skala sikap dan biasanya meliputi respon setuju atau tidak dalam beberapa kelompok-kelompok. Ukuran self-report mudah digunakan namun ukuran itu dapat memiliki sifat kemenduaan (ambiguity) atau adanya ukuran lain. Sikap dari skala sikap ini adalah isi pernyataan yang berupa pernyataan langsung yang jelas tujuan ukuran atau pernyataan tidak langsung yang kurang jelas untuk tujuan ukurannya bagi responden.
Mengukur sikap bukan suatu hal yang mudah sebab sikap adalah kecenderungan, pandangan pendapat, atau pendirian seseorang untuk meneliti suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya, dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu objek. Dalam penelitian sikap, tergantung pada kepekaan dan kecermatan pengukurannya. Perlu diperhatikan metode yang berhubungan dengan pengukuran sikap, bagaimana instrumen itu dapat dikembangkan dan digunakan untuk mengukur sikap. Azwar (2000:90) menjelaskan bahwa, metode yang bisa digunakan untuk pengungkapan sikap yaitu:
1. Observasi perilaku
Kalau seseorang menampakkan perilaku yang konsisten (terulang) misalnya tidak pernah mau diajak nonton film Indonesia, bukanlah dapat disimpulkan bahwa ia tidak menyukai film Indonesia. Orang lain yang selalu memakai baju warna putih, bukankah dia memperlihatkan sikapnya terhadap warna putih. Perilaku tertentu bahkan kadang-kadang sengaja ditampakkan untuk menyembunyikan sikap yang sebenarnya. Dengan demikian, perilaku yang diamati mungkin saja dapat menjadi indikator sikap dalam kontek situasional tertentu, tetapi interpretasi sikap warna sangat berhati-hati apabila hanya didasarkan dari pengamatan terhadap perilaku yang ditampakkan oleh seseorang.
2. Pertanyaan langsung
Asumsi yang mendasari metode pertanyaan langsung guna pengungkapan sikap, pertama adalah asumsi bahwa individu merupakan orang yang paling tahu mengenai dirinya sendiri, dan kedua adalah asumsi keterusterangan bahwa manusia akan mengemukakan secara terbuka apa yang dirasakannya.
3. Pengungkapan langsung
Suatu metode pertanyaan langsung adalah pengungkapan langsung (direct assessment) secara tertulis yang dapat dilakukan dengan menggunakan item tunggal maupun dengan menggunakan item ganda. Prosedur pengungkapan langsung dengan item ganda sangat sederhana. Responden diminta untuk menjawab langsung suatu pernyataan sikap tertulis dengan memberi tanda setuju atau tidak setuju. Penyajian dan pemberian respondennya yang dilakukan secara tertulis memungkinkan individu untuk menyatakan sikap secara lebih jujur. Pengukuran sikap yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pengungkapan langsung yaitu dengan menggunakan skala psikologis yang diberikan pada objek.
B. Sikap dan Perilaku Guru yang Profesional
Pemerintah sering melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru, antara lain melalui seminar, pelatihan, dan loka karya, bahkam melalui pendidikan formal bahkan dengan menyekolahkan guru pada tingkat yang lebih tinggi. Kendatipun dalam pelakansaannya masih jauh dari harapan, dan banyak penyimpangan, namun paling tidak telah menghasilkan suatu kondisi yang yang menunjukkan bahwa sebagian guru memiliki ijazah perguruan tinggi.
Latar belakang pendidikan ini mestinya berkorelasi positif dengan kualitas pendidikan, bersamaan dengan faktor lain yang mempengaruhi. Walaupun dalam kenyataannya banyak guru yang melakukan kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang seringkali tidak disadari oleh guru dalam pembelajaran ada tujuh kesalahan. Kesalahan-kesalahan itu antara lain:
mengambil jalan pintas dalam pembelajaran,
menunggu peserta didik berperilaku negatif,
menggunakan destruktif discipline,
mengabaikan kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan individu) peserta didik,
merasa diri paling pandai di kelasnya,
tidak adil (diskriminatif), serta
memaksakan hak peserta didik (Mulyasa, 2005:20).
Untuk mengatasi kesalahan-kesalahan tersebut maka seorang guru yang profesional harus memiliki empat kompetensi. Kompetensi tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dosen dan Guru, yakni:
kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik,
kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik,
kompetensi profesional adalah kamampuan penguasaan materi pelajaran luas mendalam,
kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Sikap dikatakan sebagai suatu respons evaluatif. Respon hanya akan timbul, apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang dikehendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbul didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik buruk, positif negati, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 2000: 15).
Sedangkan perilaku merupakan bentuk tindakan nyata seseorang sebagai akibat dari adanya aksi respon dan reaksi. Menurut Mann dalam Azwar (2000) sikap merupakan predisposisi evaluatif yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap semata namun juga ditentukan faktor eksternal lainnya.
Menurut penuturan R.Tantiningsih dalam Wawasan 14 Mei 2005, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan agar beberapa sikap dan perilaku menyimpang dalam dunia pendidikan dapat hindari, diantaranya: Pertama, menyiapakan tenaga pendidik yang benar-benar profesional yang dapat menghormati siswa secara utuh. Kedua, guru merupakan key succes factor dalam keberhasilan budi pekerti. Dari guru siswa mendapatkan action exercise dari pembelajaran yang diberikan. Guru sebagai panutan hendaknya menjaga image dalam bersikap dan berperilaku. Ketiga, Budi pekerti dijadikan mata pelajaran khusus di sekolah. Kempat, adanya kerjasama dan interaksi yang erat antara siswa, guru (sekolah), dan orang tua.
Terkait dengan hal di atas, Hasil temuan dari universitas Harvard bahwa 85 % dari sebab-sebab kesuksesan, pencapaian sasaran, promosi jabatan, dan lain-lain adalah karena sikap-sikap seseorang. Hanya 15 % disebabkan oleh keahlian atau kompetensi teknis yang dimiliki (Ronnie, 2005:62).
Namun sayangnya justru kemampuan yang bersifat teknis ini yang menjadi primadona dalam istisusi pendidikan yang dianggap modern sekarang ini. Bahkan kompetensi teknis ini dijadikan basis utama dari proses belajar mengajar. Jelas hal ini bukan solusi, bahkan akan membuat permasalahan semakin menjadi. Semakin menggelembung dan semakin sulit untuk diatasi.
Menurut Danni Ronnie M ada enam belas pilar agar guru dapat mengajar dengan hati. Keenam belas pilar tersebut menekankan pada sikap dan perilaku pendidik untuk mengembangkan potensi peserta didik. Enam belas pilar pembentukan karakter yang harus dimiliki seorang guru, antara lain:
kasih sayang,
penghargaan,
pemberian ruang untuk mengembangkan diri,
kepercayaan,
kerjasama,
saling berbagi,
saling memotivasi,
saling mendengarkan,
saling berinteraksi secara positif,
saling menanamkan nilai-nilai moral,
saling mengingatkan dengan ketulusan hati,
saling menularkan antusiasme,
saling menggali potensi diri,
saling mengajari dengan kerendahan hati,
saling menginsiprasi,
saling menghormati perbedaan.
Jika para pendidik menyadari dan memiliki menerapkan 16 pilar pembangunan karakter tersebut jelas akan memberikan sumbangsih yang luar biasa kepada masyarakat dan negaranya.
C. Faktor Penyebab Sikap dan Perilaku Guru Menyimpang
Pendidikan merupakan upaya untuk mencerdaskan anak bangsa. Berbagai upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan telah dilaksanakan walapun belum menunjukkan hasil yang optimal. Pendidikan tidak bisa lepas dari siswa atau peserta didik. Siswa merupakan subjek didik yang harus diakui keberadaannya. Berbagai karakter siswa dan potensi dalam dirinya tidak boleh diabaikan begitu saja. Tugas utama guru mendidik dan mengembangkan berbagai potensi itu.
Jika ada pendidik (guru) yang sikap dan perilakunya menyimpang karena dipengaruhi beberapa faktor. Pertama, adanya malpraktik (meminjam istilah Prof Mungin) yaitu melakukan praktik yang salah, miskonsep. Guru salah dalam menerapkan hukuman pada siswa. Apapun alasannya tindakan kekerasan maupun pencabulan guru terhadap siswa merupakan suatu pelanggaran.
Kedua, kurang siapnya guru maupun siswa secara fisik, mental, maupun emosional. Kesiapan fisik, mental, dan emosional guru maupun siswa sangat diperlukan. Jika kedua belah pihak siap secara fisik, mental, dan emosional, proses belajar mengajar akan lancar, interaksi siswa dan guru pun akan terjalin harmonis layaknya orang tua dengan anaknya.
Ketiga, kurangnya penanaman budi pekerti di sekolah. Pelajaran budi pekerti sekarang ini sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada sifatnya hanya sebagai pelengkap, lantaran diintegrasikan dengan berbagai mata pelajaran yang ada. Namun realitas di lapangan pelajaran yang didapat siswa kabanyakan hanya dijejali berbagai materi. Sehingga nilai-nilai budi pekerti yang harus diajarkan justru dilupakan.
Selain dari ketiga faktor di atas, juga dipengaruhi oleh tipe-tipe kejiwaan seperti yang diungkapkan Plato dalam "Tipologo Plato", bahwa fungsi jiwa ada tiga, yaitu: fikiran, kemauan, dan perasaan. Pikiran berkedudukan di kepala, kemauan berkedudukan dalam dada, dan perasaan berkedudukan dalam tubuh bagian bawah. Atas perbedaan tersebut Plato juga membedakan bahwa pikiran itu sumber kebijakasanaan, kemauan sumber keberanian, dan perasaan sumber kekuatan menahan hawa nafsu.
Jika pikiran, kemauan, perasaan tidak sinkron akan menimbulkan permasalahan. Perasaan tidak dapat mengendalikan hawa nafsu, akibatnya kemauan tidak terkendali dan pikiran tidak dapat berpikir bijak. Agar pendidikan di Indonesia berhasil, paling tidak pendidik memahami faktor-faktor tersebut. Kemudian mampu mengantisipasinya dengan baik. Sehingga kesalahan-kesalahan guru dalam sikap dan perilaku dapat dihindari.
Bagaimanapun juga kualitas pendidikan di Indonesia harus mampu bersaing di dunia internasional. Sikap dan perilaku profesional seorang pendidik akan mampu membawa dunia pendidikan lebih berkualitas. Dengan demikian diharapkan mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional Indonesia yaitu membentuk manusia Indonesia seutuhnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap dan perilaku guru yang profesional adalah mampu menjadi teladan bagi para peserta didik, mampu mengembangkan kompetensi dalam dirinya, dan mampu mengembangkan potensi para peserta didik. Sikap dan perilaku guru yang profesional mencakup enam belas pilar dalam pembangun karakter. Keenam belas pilar tersebut, yakni kasih sayang, penghargaan, pemberian ruang untuk mengembangkan diri, kepercayaan, kerjasama, saling berbagi, saling memotivasi, saling mendengarkan, saling berinteraksi secara positif, saling menanamkan nilai-nilai moral, saling mengingatkan dengan ketulusan hati, saling menularkan antusiasme, saling menggali potensi diri, saling mengajari dengan kerendahan hati, saling menginsiprasi, saling menghormati perbedaan.
Sikap dan perilaku guru dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhinya berupa faktor eksternal dan internal. Oleh karena itu pendidik harus mampu mengatasi apabila kedua faktor tersebut menimbulkan hal-hal yang negatif.
B. Saran
Para pendidik, calon pendidik, dan pihak-pihak yang terkait hendaknya mulai memahami, menerapkan, dan mengembangkan sikap-sikap serta perilaku dalam dunia pendidikan melalui teladan baik dalam pikiran, ucapan, dan tindakan.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar Saifuddin, 2000. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mar'at, 1981. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukuran. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Mulyasa, 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ronnie M. Dani, 2005. Seni Mengajar dengan Hati. Jakarta: Alex Media Komputindo.
R. Tantiningsih, 2005. Guru Cengkiling dan Amoral. Koran Harian Sore Wawasan. 14 Mei 2005.
Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: BP. Media Pustaka Mandiri.
Walgito, Bimo 1990. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.
Saya Rustantiningsih setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .
MEMORY & HYPNOSIS
Memory & Hypnosis
Judul: Memory & HypnosisBahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.Nama & E-mail (Penulis): Yovan P. Putra, CHt.Saya Konsultan di JakartaTopik: MemoryTanggal: 27 Agustus 2007 Fenomena hypnosis terjadi ketika seseorang (selanjutnya disebut: subjek) mengalami perubahan pada persepsi, memori atau mood-nya sebagai respon atas sugesti yang diberikan oleh hypnotist (selanjutnya disebut: praktisi). Untuk menjelaskan fenomena ini agak sulit karena hal ini sebenarnya merupakan fenomena yang abstrak dan eksperensial, perlu dialami. Berdasarkan pengalaman, saat sesi hypnosis berlangsung saya di Prima Study memberikan panduan kepada subjek guna menciptakan situasi yang diinginkan, tentunya dengan mengacu pada kemampuan si subjek. Pada kondisi ini, distorsi informasi sangat dimungkinkan terjadi. Karenanya keakuratan informasi hanya dapat ditentukan berdasarkan informasi yang diingat si subjek (memori subjek).Sejalan dengan pernyataan di atas, jika subjek termotivasi untuk memberikan informasi yang keliru pada saat hypnosis (misalnya dengan melaporkan suatu pengalaman yang sebenarnya tidak terjadi) maka hal itu sangat dimungkinkan. Pada kondisi tersebut umumnya subjek memberikan informasi sebagai tanggapan atas informasi masukan yang diberikan saat sesi hypnosis berlangsung. Penting untuk diperhatikan, bahwa hal ini sebenarnya menunjukan bahwa imajinasi subjek dapat terus bekerja dalam kondisi hypnosis dan bukan ingin memberikan kesimpulan bahwa hypnosis yang menyebabkan terjadinya distorsi informasi. Menurut Echabe dan Rovira, 1989, memori sangat dipengaruhi oleh representasi yang sebelumnya telah ada (pre-existing), namun kejadian atau informasi tambahan setelahnya (postevent) juga sangat efektif untuk menciptakan distorsi informasi, baik pada dewasa maupun pada anak-anak (Ceci, Ross & Toglia, 1987).
Memori merupakan proses konstruktif dan rekonstruktif. Hal ini menunjukan suatu proses yang sangat dinamis. Berbagai perubahan yang terjadi pada memori sangat erat kaitannya dengan kondisi emosional individu bersangkutan. Memang hypnosis dapat meningkatkan kuantitas memori individu, sehingga individu bersangkutan dapat mengingat lebih banyak informasi. Namun perlu juga dicermati bahwa akurasi dari informasi tersebut sangat bergantung sepenuhnya pada individu bersangkutan. Keyakinan individu dapat muncul salah satunya karena preferensinya pada suatu kejadian atau informasi. Kembali lagi hal ini menekankan bahwa emosi memainkan peranan yang sangat penting dalam pembentukan memori. Untuk lebih menjelaskan mengenai hal ini, perlu juga dibahas mengenai fenomena pseudomemory.
Pseudomemory
Fenomena pseudomemory sangat erat kaitannya dengan penerimaan subjek atas informasi yang disampaikan setelahnya (post-event). Dalam konteks hypnosis, hal ini dapat dilakukan dengan memberikan informasi tambahan setelah induksi. Setelah subjek kembali pada kesadarannya semula, selajutnya diberikan pengujian atas informasi yang telah disampaikan sebelumnya.
Fenomena pseudomemory sangat berkaitan erat dengan daya penerimaan individu atas hypnosis (hypnotic susceptibility). Pada individu yang memiliki daya penerimaan hypnosis tinggi, pseudomemory lebih sering terjadi demikian pula sebaliknya seperti yang dilaporkan oleh Labelle, Laurance, Nadon & Perry, 1990, dan juga McConkey, Labelle, Bibb & Bryant, 1990. Sebagai tambahan pseudomemory juga lebih mudah terjadi pada kondisi hypnosis dibandingkan pada kondisi sadar (waking) (Sheehan, Statham & Jamieson, 1991).
Faktor lain yang turut mempengaruhi terjadinya pseudomemory antara lain tipe stimulus yang diberikan, berbagai pengaturan yang telah dipersiapkan sebelumnya, model pengujian memori, keberadaan reward bagi subjek dan berbagai pengaruh kontekstual lainnya (Spanos, Gwynn, Comer, Baltruweit & de Groh, 1989).
Karena optimalitas hypnosis sangat ditentukan oleh keberadaan rapport antara praktisi dan subjek, dan pseudomemory lebih sering terjadi pada kondisi hypnosis, maka tentunya rapport memainkan peranan pada pseudomemory. Kata rapport berasal dari bahasa Perancis, rapporter yang berarti memberikan. Rapport sangat berkaitan dengan hypnosis. Dalam konteks hypnosis klinis, istilah rapport datang dalam berbagai versi. Ada yang menyebutnya sebagai keterkaitan archaic (Shor, 1962), faktor hubungan sosial (Sarbin & Coe, 1972), tranference (Gill & Brenman, 1961) dan fusional atau aliansi simbiotik (Diamond, 1988). Berkenaan dengan hypnosis, rapport dapat dipahami sebagai interaksi positif antara praktisi dan subjek, yang menimbulkan rasa nyaman dan relaks pada diri subjek. Keterkaitan archaic (Shor) atau rapport merupakan salah satu faktor yang memfasilitasi respon hypnotik, termasuk pula di dalamnya pseudomemory. Dengan menurunnya rapport, maka respon hypnotik pun juga semakin berkurang (Sheehan, 1980) yang artinya jika dikaitkan dengan pseudomemory maka fenomena tersebut juga turut berkurang.
Di Prima Study ada kalanya pada sesi hypnosis informasi yang diberikan akurat dan tidak membutuhkan verifikasi lebih lanjut. Hal ini diindikasikan dengan keyakinan subjek akan informasi tersebut. Namun keyakinan subjek atas informasi yang diberikan bukanlah satu-satunya indikator bahwa memori yang disampaikan benar-benar akurat. Kemampuan seorang subjek dihypnosis (hypnotic susceptibility) turut berpengaruh pada penciptaan memori.
Walaupun hypnosis tidak sepenuhnya menyebabkan distorsi informasi, namun hypnosis dapat “menyetir” subjek pada kekeliruan informasi, kesalahan informasi bahkan membuat-buat informasi (confabulation). Distorsi memori juga dapat disebabkan karena motivasi subjek untuk menyenangkan si praktisi.
Pengekangan memori
Memori dapat dimunculkan bahkan dirubah secara permanen. Dalam beberapa konteks hal ini sangat serius utamanya jika dilihat dalam konteks forensik (Orne, 1979). Memori dapat dimunculkan, dihapus dan diciptakan oleh kejadian yang terjadi selama atau setelah waktu encoding, dalam periode penyimpanan, atau dalam proses pemanggilan kembali. Mengingat hal tersebut, maka tidak berlebihan kiranya jika kemudian pengekangan (repression) dan pemisahan (dissociation) merupakan proses kunci pada beberapa pendekatan terapi. Berdasar teori ini memori yang traumatik dapat diblokade secara tanpa sadar dan hal ini mengarahkan orang pada tidak memiliki memori berkenaan dengan hal traumatik tersebut. Namun memori dari kejadian yang traumatik ini dapat kemudian diakses kembali pada saat yang lain. Harap diingat bahwa tidak ada satu pernyataan ilmiah pun yang menghubungkan antara trauma dengan memori (McConkey & Sheehan, 1995). Pernyataan yang ada lebih menekankan pada memori yang disampaikan secara spontan atau setelah prosedur terapi dapat akurat, tidak akurat, dibuat-buat atau gabungan antara semuanya.
Berhubungan dengan kesimpulan tersebut, saat ini semakin banyak pengakuan dari subjek yang menjalani sesi terapi tanpa memori mengenai pelecehan seksual sebelumnya, dan setelah proses terapi mendapatkan berbagai detil mengenai memori pelecehan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga. Banyak dari subjek tersebut yang kemudian menyakini bahwa memorinya merupakan suatu yang benar-benar meyakinkan yang mana telah dipulihkan melalui hypnosis.
Banyak literatur yang mempertanyakan keakuratan dari memori yang telah lama, seperti yang dikemukakan oleh (Loftus & Ketcham, 1994) dan (Neisser & Harsch, 1992). Dari literatur tersebut didapatkan bahwa kejadian atau informasi yang teringat dari masa lampau sering kali tidak muncul seperti apa yang sebenarnya terjadi. Memori dari suatu kejadian di masa lampau, utamanya memori dari masa kecil, sangat dimungkinkan untuk terdistorsi bahkan mengalami kekeliruan.
Terminologi “Recovered Memory Therapy” menunjukan suatu jenis terapi berkenaan dengan memori dari masa lampau. Sebenarnya terminologi yang lebih tepat adalah “recovery of therapeutic purposes of repressed memories” atas suatu kejadian. ontoh untuk hal ini seperti pelecehan seksual yang sering kali diasosiasikan dengan ritual satanik atau manifestasi dari Multiple Personality Disorder (MPD).
Pelecehan dan berbagai issue lainnya yang terlupakan bukan berarti represi atas kejadian tersebut. Memori dapat saja dihindari, namun bukan berarti tidak dapat diakses. Untuk hal ini, satu individu dapat melakukannya lebih baik dari individu yang lain.
Terapi bisa saja memberikan akses pada memori dan memberikan laporan berkenaan dengan memori yang bersangkutan. Terapi dapat pula memberikan masukan, petunjuk, dan sugesti tentang berbagai hal yang lebih pas, lebih masuk pada suatu kejadian. Dengan demikian maka sebenarnya terapi pun dapat saja mendistorsi suatu memori yang akurat.
Hypnosis yang digunakan untuk tujuan terapeutik perlu diperhatikan benar-benar aplikasinya. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan hubungan antara memori dan hypnosis antara lain: asosiasi antara emosi dan pemanggilan ulang informasi, implikasi dari kekeliruan dalam hypnosis, kemungkinan konfirmasi atau sugesti mengenai pelecehan mungkin saja secara tidak sengaja terkomunikasikan kepada subjek, dan interpretasi atas “bukti” sesi yang mana bisa tidak konsisten dengan data ilmiah.
Penanan emosi sangatlah signifikan utamanya dalam kaitannya dengan tujuan forensik, di mana kondisi baik subjek dapat terancam oleh prosedur forensik yang diadopsi oleh praktisi. Berkaitan dengan uraian di atas mengenai hubungan antara emosi dan memori, stres yang dialami oleh individu saat pemanggilan ulang informasi (yang mungkin) relevan, memunculkan pertanyaan apakah stress lanjutan diperbolehkan dalam pencarian informasi yang memiliki tujuan legal.
Ketika asosiasi antara memori dan hypnosis terlibat, maka perhatian khusus (secara teknis dan klinis) diperlukan pada reabilitas pelaporan memori. Pada konteks teknis, diperlukan prosedur khusus yang bertujuan untuk menentukan apakah pelaporan benar-benar dapat dipercaya (contohnya pemeriksaan independen pada informasi yang disampaikan saat hypnosis). Ketika reputasi personal dapat terpojok, contohnya oleh pemunculan ulang informasi mengenai pelecehan, maka praktisi perlu memastikan bahwa segala informasi yang disampaikan harus benar-benar akurat.
Kesimpulan
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya (Sheehan & McConkey, 1993) hypnosis bukan hanya komunikasi dalam artian yang biasa. Hypnosis sering kali berkaitan dengan perubahan radikal dalam pemikiran individu yang dapat muncul pada berbagai konteks sosial yang berbeda-beda, termasuk di dalamnya terapi. Subjek yang dihypnosis sering kali tidak memiliki kemampuan untuk menganalisa secara kritis atas informasi yang disampaikan saat sesi hypnosis berlangsung (Kihlstrom, 1985). Hal berimplikasi pada aplikasi hypnosis untuk tujuan klinis. Walaupun hypnosis dapat menambahkan kuantitas informasi yang disampaikan, namun kembali lagi tidak memberikan penekanan pada keakuratan ataupun ketidakauratan atas informasi yang disampaikan.
Referensi
* Echabe, A. E. & Rovia, D. P. (1989). Social representations and memory: The case of AIDS. European J. Soc. Psychol., 19, 586 - 595.
* Ceci, S. J., Ross, D. F. & Toglia, M. P. (1987). Suggestibility of children’s memory: Psycholegal implications. J. Exp. Psychol: General, 116, 38 - 49.
* McConkey, K. M., Labelle, L., Bibb, B. C. & Bryant, R. A. (1990). Hypnosis and suggested pseudomemory: The relevance of test context. Aust. J. Psychol., 42, 197 - 206.
* Sheehan, P. W., Statham, D. & Jamieson, G. A. (1991). Pseudomemory effects over time in the hypnotic setting. J. Abnorm. Psychol., 100, 39 - 44.
* Spanos, N. P., Gwynn, M. I., Comer, S. L., Baltruweit, W. J. & de Groh, M. (1989). Are hypnotically induced pseudomemories resistant to cross-examination? Law and Human Behaviour, 13, 271 - 289.
* Shor, R. E. (1962). Three dimensions of hypnotic depth. Int. J. Clin. Exp. Hypn., 10, 23 - 28.
* Sarbin, T. R. & Coe, W. C. (1972). Hypnosis: A Social Psychological Analysis of Influence Communication. New York: Holt, Rinehart & Winston.
* Gill, M. M. & Brenman, M. (1961). Hypnosis and Related States. New York: International Universities Press.
* Diamond, M. J. (1988). Assessing arhaic involvement: Toward unravelling the mystery of Erickson’s hypnosis. Int. J. Clin. Exp. Hypn., 36, 141 - 156.
* Sheehan, P. W. (1980). Factors influencing rapport in hypnosis. J. Abnorm. Psychol,. 89, 263 - 281.
* Orne, M. T. (1979), The use and misuse of hypnosis in court. Int. J. Clin. Exp. Hypn., 27, 311 - 341.
* McConkey, K. M. & Sheehan, P. W. (1995). Hypnosis, Memory, and Behaviour in Criminal Investigation. New York: Guilford Press.
* Loftus, E. F. & Ketcham, K. (1994). The Myth of Repressed Memory: False Memory and Allegations of Sexual Abuse. New York: St. Martin’s Press.
* Neisser, U. & Harscg, N. (1992) . Phantom flash bulbs: False recollections of hearing the news about Challenger. In. E. Winograd & U. Neisser (Eds), Affect and Accuracy in Recall: Studies of ‘Flash Bulb’ Memories (pp. 9 - 31). New York: Cambridge University Press.
* Sheehan, P. W. & McConkey, K. M. (1993). Forensic hypnosis: The apllication of ethical guidelines. In J. W. Rhue, S. J. Lynn, & I. Kirsch (Eds) Handbook of Clinical Hypnosis (pp. 719 - 738). Washington, DC: American Psychological Association.
* Kihlstrom, J. E. (1985). Hypnosis. Ann. Rev. Psychol., 36, 385 - 418.
Saya Yovan P. Putra, CHt. setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .
Judul: Memory & HypnosisBahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.Nama & E-mail (Penulis): Yovan P. Putra, CHt.Saya Konsultan di JakartaTopik: MemoryTanggal: 27 Agustus 2007 Fenomena hypnosis terjadi ketika seseorang (selanjutnya disebut: subjek) mengalami perubahan pada persepsi, memori atau mood-nya sebagai respon atas sugesti yang diberikan oleh hypnotist (selanjutnya disebut: praktisi). Untuk menjelaskan fenomena ini agak sulit karena hal ini sebenarnya merupakan fenomena yang abstrak dan eksperensial, perlu dialami. Berdasarkan pengalaman, saat sesi hypnosis berlangsung saya di Prima Study memberikan panduan kepada subjek guna menciptakan situasi yang diinginkan, tentunya dengan mengacu pada kemampuan si subjek. Pada kondisi ini, distorsi informasi sangat dimungkinkan terjadi. Karenanya keakuratan informasi hanya dapat ditentukan berdasarkan informasi yang diingat si subjek (memori subjek).Sejalan dengan pernyataan di atas, jika subjek termotivasi untuk memberikan informasi yang keliru pada saat hypnosis (misalnya dengan melaporkan suatu pengalaman yang sebenarnya tidak terjadi) maka hal itu sangat dimungkinkan. Pada kondisi tersebut umumnya subjek memberikan informasi sebagai tanggapan atas informasi masukan yang diberikan saat sesi hypnosis berlangsung. Penting untuk diperhatikan, bahwa hal ini sebenarnya menunjukan bahwa imajinasi subjek dapat terus bekerja dalam kondisi hypnosis dan bukan ingin memberikan kesimpulan bahwa hypnosis yang menyebabkan terjadinya distorsi informasi. Menurut Echabe dan Rovira, 1989, memori sangat dipengaruhi oleh representasi yang sebelumnya telah ada (pre-existing), namun kejadian atau informasi tambahan setelahnya (postevent) juga sangat efektif untuk menciptakan distorsi informasi, baik pada dewasa maupun pada anak-anak (Ceci, Ross & Toglia, 1987).
Memori merupakan proses konstruktif dan rekonstruktif. Hal ini menunjukan suatu proses yang sangat dinamis. Berbagai perubahan yang terjadi pada memori sangat erat kaitannya dengan kondisi emosional individu bersangkutan. Memang hypnosis dapat meningkatkan kuantitas memori individu, sehingga individu bersangkutan dapat mengingat lebih banyak informasi. Namun perlu juga dicermati bahwa akurasi dari informasi tersebut sangat bergantung sepenuhnya pada individu bersangkutan. Keyakinan individu dapat muncul salah satunya karena preferensinya pada suatu kejadian atau informasi. Kembali lagi hal ini menekankan bahwa emosi memainkan peranan yang sangat penting dalam pembentukan memori. Untuk lebih menjelaskan mengenai hal ini, perlu juga dibahas mengenai fenomena pseudomemory.
Pseudomemory
Fenomena pseudomemory sangat erat kaitannya dengan penerimaan subjek atas informasi yang disampaikan setelahnya (post-event). Dalam konteks hypnosis, hal ini dapat dilakukan dengan memberikan informasi tambahan setelah induksi. Setelah subjek kembali pada kesadarannya semula, selajutnya diberikan pengujian atas informasi yang telah disampaikan sebelumnya.
Fenomena pseudomemory sangat berkaitan erat dengan daya penerimaan individu atas hypnosis (hypnotic susceptibility). Pada individu yang memiliki daya penerimaan hypnosis tinggi, pseudomemory lebih sering terjadi demikian pula sebaliknya seperti yang dilaporkan oleh Labelle, Laurance, Nadon & Perry, 1990, dan juga McConkey, Labelle, Bibb & Bryant, 1990. Sebagai tambahan pseudomemory juga lebih mudah terjadi pada kondisi hypnosis dibandingkan pada kondisi sadar (waking) (Sheehan, Statham & Jamieson, 1991).
Faktor lain yang turut mempengaruhi terjadinya pseudomemory antara lain tipe stimulus yang diberikan, berbagai pengaturan yang telah dipersiapkan sebelumnya, model pengujian memori, keberadaan reward bagi subjek dan berbagai pengaruh kontekstual lainnya (Spanos, Gwynn, Comer, Baltruweit & de Groh, 1989).
Karena optimalitas hypnosis sangat ditentukan oleh keberadaan rapport antara praktisi dan subjek, dan pseudomemory lebih sering terjadi pada kondisi hypnosis, maka tentunya rapport memainkan peranan pada pseudomemory. Kata rapport berasal dari bahasa Perancis, rapporter yang berarti memberikan. Rapport sangat berkaitan dengan hypnosis. Dalam konteks hypnosis klinis, istilah rapport datang dalam berbagai versi. Ada yang menyebutnya sebagai keterkaitan archaic (Shor, 1962), faktor hubungan sosial (Sarbin & Coe, 1972), tranference (Gill & Brenman, 1961) dan fusional atau aliansi simbiotik (Diamond, 1988). Berkenaan dengan hypnosis, rapport dapat dipahami sebagai interaksi positif antara praktisi dan subjek, yang menimbulkan rasa nyaman dan relaks pada diri subjek. Keterkaitan archaic (Shor) atau rapport merupakan salah satu faktor yang memfasilitasi respon hypnotik, termasuk pula di dalamnya pseudomemory. Dengan menurunnya rapport, maka respon hypnotik pun juga semakin berkurang (Sheehan, 1980) yang artinya jika dikaitkan dengan pseudomemory maka fenomena tersebut juga turut berkurang.
Di Prima Study ada kalanya pada sesi hypnosis informasi yang diberikan akurat dan tidak membutuhkan verifikasi lebih lanjut. Hal ini diindikasikan dengan keyakinan subjek akan informasi tersebut. Namun keyakinan subjek atas informasi yang diberikan bukanlah satu-satunya indikator bahwa memori yang disampaikan benar-benar akurat. Kemampuan seorang subjek dihypnosis (hypnotic susceptibility) turut berpengaruh pada penciptaan memori.
Walaupun hypnosis tidak sepenuhnya menyebabkan distorsi informasi, namun hypnosis dapat “menyetir” subjek pada kekeliruan informasi, kesalahan informasi bahkan membuat-buat informasi (confabulation). Distorsi memori juga dapat disebabkan karena motivasi subjek untuk menyenangkan si praktisi.
Pengekangan memori
Memori dapat dimunculkan bahkan dirubah secara permanen. Dalam beberapa konteks hal ini sangat serius utamanya jika dilihat dalam konteks forensik (Orne, 1979). Memori dapat dimunculkan, dihapus dan diciptakan oleh kejadian yang terjadi selama atau setelah waktu encoding, dalam periode penyimpanan, atau dalam proses pemanggilan kembali. Mengingat hal tersebut, maka tidak berlebihan kiranya jika kemudian pengekangan (repression) dan pemisahan (dissociation) merupakan proses kunci pada beberapa pendekatan terapi. Berdasar teori ini memori yang traumatik dapat diblokade secara tanpa sadar dan hal ini mengarahkan orang pada tidak memiliki memori berkenaan dengan hal traumatik tersebut. Namun memori dari kejadian yang traumatik ini dapat kemudian diakses kembali pada saat yang lain. Harap diingat bahwa tidak ada satu pernyataan ilmiah pun yang menghubungkan antara trauma dengan memori (McConkey & Sheehan, 1995). Pernyataan yang ada lebih menekankan pada memori yang disampaikan secara spontan atau setelah prosedur terapi dapat akurat, tidak akurat, dibuat-buat atau gabungan antara semuanya.
Berhubungan dengan kesimpulan tersebut, saat ini semakin banyak pengakuan dari subjek yang menjalani sesi terapi tanpa memori mengenai pelecehan seksual sebelumnya, dan setelah proses terapi mendapatkan berbagai detil mengenai memori pelecehan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga. Banyak dari subjek tersebut yang kemudian menyakini bahwa memorinya merupakan suatu yang benar-benar meyakinkan yang mana telah dipulihkan melalui hypnosis.
Banyak literatur yang mempertanyakan keakuratan dari memori yang telah lama, seperti yang dikemukakan oleh (Loftus & Ketcham, 1994) dan (Neisser & Harsch, 1992). Dari literatur tersebut didapatkan bahwa kejadian atau informasi yang teringat dari masa lampau sering kali tidak muncul seperti apa yang sebenarnya terjadi. Memori dari suatu kejadian di masa lampau, utamanya memori dari masa kecil, sangat dimungkinkan untuk terdistorsi bahkan mengalami kekeliruan.
Terminologi “Recovered Memory Therapy” menunjukan suatu jenis terapi berkenaan dengan memori dari masa lampau. Sebenarnya terminologi yang lebih tepat adalah “recovery of therapeutic purposes of repressed memories” atas suatu kejadian. ontoh untuk hal ini seperti pelecehan seksual yang sering kali diasosiasikan dengan ritual satanik atau manifestasi dari Multiple Personality Disorder (MPD).
Pelecehan dan berbagai issue lainnya yang terlupakan bukan berarti represi atas kejadian tersebut. Memori dapat saja dihindari, namun bukan berarti tidak dapat diakses. Untuk hal ini, satu individu dapat melakukannya lebih baik dari individu yang lain.
Terapi bisa saja memberikan akses pada memori dan memberikan laporan berkenaan dengan memori yang bersangkutan. Terapi dapat pula memberikan masukan, petunjuk, dan sugesti tentang berbagai hal yang lebih pas, lebih masuk pada suatu kejadian. Dengan demikian maka sebenarnya terapi pun dapat saja mendistorsi suatu memori yang akurat.
Hypnosis yang digunakan untuk tujuan terapeutik perlu diperhatikan benar-benar aplikasinya. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan hubungan antara memori dan hypnosis antara lain: asosiasi antara emosi dan pemanggilan ulang informasi, implikasi dari kekeliruan dalam hypnosis, kemungkinan konfirmasi atau sugesti mengenai pelecehan mungkin saja secara tidak sengaja terkomunikasikan kepada subjek, dan interpretasi atas “bukti” sesi yang mana bisa tidak konsisten dengan data ilmiah.
Penanan emosi sangatlah signifikan utamanya dalam kaitannya dengan tujuan forensik, di mana kondisi baik subjek dapat terancam oleh prosedur forensik yang diadopsi oleh praktisi. Berkaitan dengan uraian di atas mengenai hubungan antara emosi dan memori, stres yang dialami oleh individu saat pemanggilan ulang informasi (yang mungkin) relevan, memunculkan pertanyaan apakah stress lanjutan diperbolehkan dalam pencarian informasi yang memiliki tujuan legal.
Ketika asosiasi antara memori dan hypnosis terlibat, maka perhatian khusus (secara teknis dan klinis) diperlukan pada reabilitas pelaporan memori. Pada konteks teknis, diperlukan prosedur khusus yang bertujuan untuk menentukan apakah pelaporan benar-benar dapat dipercaya (contohnya pemeriksaan independen pada informasi yang disampaikan saat hypnosis). Ketika reputasi personal dapat terpojok, contohnya oleh pemunculan ulang informasi mengenai pelecehan, maka praktisi perlu memastikan bahwa segala informasi yang disampaikan harus benar-benar akurat.
Kesimpulan
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya (Sheehan & McConkey, 1993) hypnosis bukan hanya komunikasi dalam artian yang biasa. Hypnosis sering kali berkaitan dengan perubahan radikal dalam pemikiran individu yang dapat muncul pada berbagai konteks sosial yang berbeda-beda, termasuk di dalamnya terapi. Subjek yang dihypnosis sering kali tidak memiliki kemampuan untuk menganalisa secara kritis atas informasi yang disampaikan saat sesi hypnosis berlangsung (Kihlstrom, 1985). Hal berimplikasi pada aplikasi hypnosis untuk tujuan klinis. Walaupun hypnosis dapat menambahkan kuantitas informasi yang disampaikan, namun kembali lagi tidak memberikan penekanan pada keakuratan ataupun ketidakauratan atas informasi yang disampaikan.
Referensi
* Echabe, A. E. & Rovia, D. P. (1989). Social representations and memory: The case of AIDS. European J. Soc. Psychol., 19, 586 - 595.
* Ceci, S. J., Ross, D. F. & Toglia, M. P. (1987). Suggestibility of children’s memory: Psycholegal implications. J. Exp. Psychol: General, 116, 38 - 49.
* McConkey, K. M., Labelle, L., Bibb, B. C. & Bryant, R. A. (1990). Hypnosis and suggested pseudomemory: The relevance of test context. Aust. J. Psychol., 42, 197 - 206.
* Sheehan, P. W., Statham, D. & Jamieson, G. A. (1991). Pseudomemory effects over time in the hypnotic setting. J. Abnorm. Psychol., 100, 39 - 44.
* Spanos, N. P., Gwynn, M. I., Comer, S. L., Baltruweit, W. J. & de Groh, M. (1989). Are hypnotically induced pseudomemories resistant to cross-examination? Law and Human Behaviour, 13, 271 - 289.
* Shor, R. E. (1962). Three dimensions of hypnotic depth. Int. J. Clin. Exp. Hypn., 10, 23 - 28.
* Sarbin, T. R. & Coe, W. C. (1972). Hypnosis: A Social Psychological Analysis of Influence Communication. New York: Holt, Rinehart & Winston.
* Gill, M. M. & Brenman, M. (1961). Hypnosis and Related States. New York: International Universities Press.
* Diamond, M. J. (1988). Assessing arhaic involvement: Toward unravelling the mystery of Erickson’s hypnosis. Int. J. Clin. Exp. Hypn., 36, 141 - 156.
* Sheehan, P. W. (1980). Factors influencing rapport in hypnosis. J. Abnorm. Psychol,. 89, 263 - 281.
* Orne, M. T. (1979), The use and misuse of hypnosis in court. Int. J. Clin. Exp. Hypn., 27, 311 - 341.
* McConkey, K. M. & Sheehan, P. W. (1995). Hypnosis, Memory, and Behaviour in Criminal Investigation. New York: Guilford Press.
* Loftus, E. F. & Ketcham, K. (1994). The Myth of Repressed Memory: False Memory and Allegations of Sexual Abuse. New York: St. Martin’s Press.
* Neisser, U. & Harscg, N. (1992) . Phantom flash bulbs: False recollections of hearing the news about Challenger. In. E. Winograd & U. Neisser (Eds), Affect and Accuracy in Recall: Studies of ‘Flash Bulb’ Memories (pp. 9 - 31). New York: Cambridge University Press.
* Sheehan, P. W. & McConkey, K. M. (1993). Forensic hypnosis: The apllication of ethical guidelines. In J. W. Rhue, S. J. Lynn, & I. Kirsch (Eds) Handbook of Clinical Hypnosis (pp. 719 - 738). Washington, DC: American Psychological Association.
* Kihlstrom, J. E. (1985). Hypnosis. Ann. Rev. Psychol., 36, 385 - 418.
Saya Yovan P. Putra, CHt. setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .
Subscribe to:
Posts (Atom)