Memory & Hypnosis
Judul: Memory & HypnosisBahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.Nama & E-mail (Penulis): Yovan P. Putra, CHt.Saya Konsultan di JakartaTopik: MemoryTanggal: 27 Agustus 2007 Fenomena hypnosis terjadi ketika seseorang (selanjutnya disebut: subjek) mengalami perubahan pada persepsi, memori atau mood-nya sebagai respon atas sugesti yang diberikan oleh hypnotist (selanjutnya disebut: praktisi). Untuk menjelaskan fenomena ini agak sulit karena hal ini sebenarnya merupakan fenomena yang abstrak dan eksperensial, perlu dialami. Berdasarkan pengalaman, saat sesi hypnosis berlangsung saya di Prima Study memberikan panduan kepada subjek guna menciptakan situasi yang diinginkan, tentunya dengan mengacu pada kemampuan si subjek. Pada kondisi ini, distorsi informasi sangat dimungkinkan terjadi. Karenanya keakuratan informasi hanya dapat ditentukan berdasarkan informasi yang diingat si subjek (memori subjek).Sejalan dengan pernyataan di atas, jika subjek termotivasi untuk memberikan informasi yang keliru pada saat hypnosis (misalnya dengan melaporkan suatu pengalaman yang sebenarnya tidak terjadi) maka hal itu sangat dimungkinkan. Pada kondisi tersebut umumnya subjek memberikan informasi sebagai tanggapan atas informasi masukan yang diberikan saat sesi hypnosis berlangsung. Penting untuk diperhatikan, bahwa hal ini sebenarnya menunjukan bahwa imajinasi subjek dapat terus bekerja dalam kondisi hypnosis dan bukan ingin memberikan kesimpulan bahwa hypnosis yang menyebabkan terjadinya distorsi informasi. Menurut Echabe dan Rovira, 1989, memori sangat dipengaruhi oleh representasi yang sebelumnya telah ada (pre-existing), namun kejadian atau informasi tambahan setelahnya (postevent) juga sangat efektif untuk menciptakan distorsi informasi, baik pada dewasa maupun pada anak-anak (Ceci, Ross & Toglia, 1987).
Memori merupakan proses konstruktif dan rekonstruktif. Hal ini menunjukan suatu proses yang sangat dinamis. Berbagai perubahan yang terjadi pada memori sangat erat kaitannya dengan kondisi emosional individu bersangkutan. Memang hypnosis dapat meningkatkan kuantitas memori individu, sehingga individu bersangkutan dapat mengingat lebih banyak informasi. Namun perlu juga dicermati bahwa akurasi dari informasi tersebut sangat bergantung sepenuhnya pada individu bersangkutan. Keyakinan individu dapat muncul salah satunya karena preferensinya pada suatu kejadian atau informasi. Kembali lagi hal ini menekankan bahwa emosi memainkan peranan yang sangat penting dalam pembentukan memori. Untuk lebih menjelaskan mengenai hal ini, perlu juga dibahas mengenai fenomena pseudomemory.
Pseudomemory
Fenomena pseudomemory sangat erat kaitannya dengan penerimaan subjek atas informasi yang disampaikan setelahnya (post-event). Dalam konteks hypnosis, hal ini dapat dilakukan dengan memberikan informasi tambahan setelah induksi. Setelah subjek kembali pada kesadarannya semula, selajutnya diberikan pengujian atas informasi yang telah disampaikan sebelumnya.
Fenomena pseudomemory sangat berkaitan erat dengan daya penerimaan individu atas hypnosis (hypnotic susceptibility). Pada individu yang memiliki daya penerimaan hypnosis tinggi, pseudomemory lebih sering terjadi demikian pula sebaliknya seperti yang dilaporkan oleh Labelle, Laurance, Nadon & Perry, 1990, dan juga McConkey, Labelle, Bibb & Bryant, 1990. Sebagai tambahan pseudomemory juga lebih mudah terjadi pada kondisi hypnosis dibandingkan pada kondisi sadar (waking) (Sheehan, Statham & Jamieson, 1991).
Faktor lain yang turut mempengaruhi terjadinya pseudomemory antara lain tipe stimulus yang diberikan, berbagai pengaturan yang telah dipersiapkan sebelumnya, model pengujian memori, keberadaan reward bagi subjek dan berbagai pengaruh kontekstual lainnya (Spanos, Gwynn, Comer, Baltruweit & de Groh, 1989).
Karena optimalitas hypnosis sangat ditentukan oleh keberadaan rapport antara praktisi dan subjek, dan pseudomemory lebih sering terjadi pada kondisi hypnosis, maka tentunya rapport memainkan peranan pada pseudomemory. Kata rapport berasal dari bahasa Perancis, rapporter yang berarti memberikan. Rapport sangat berkaitan dengan hypnosis. Dalam konteks hypnosis klinis, istilah rapport datang dalam berbagai versi. Ada yang menyebutnya sebagai keterkaitan archaic (Shor, 1962), faktor hubungan sosial (Sarbin & Coe, 1972), tranference (Gill & Brenman, 1961) dan fusional atau aliansi simbiotik (Diamond, 1988). Berkenaan dengan hypnosis, rapport dapat dipahami sebagai interaksi positif antara praktisi dan subjek, yang menimbulkan rasa nyaman dan relaks pada diri subjek. Keterkaitan archaic (Shor) atau rapport merupakan salah satu faktor yang memfasilitasi respon hypnotik, termasuk pula di dalamnya pseudomemory. Dengan menurunnya rapport, maka respon hypnotik pun juga semakin berkurang (Sheehan, 1980) yang artinya jika dikaitkan dengan pseudomemory maka fenomena tersebut juga turut berkurang.
Di Prima Study ada kalanya pada sesi hypnosis informasi yang diberikan akurat dan tidak membutuhkan verifikasi lebih lanjut. Hal ini diindikasikan dengan keyakinan subjek akan informasi tersebut. Namun keyakinan subjek atas informasi yang diberikan bukanlah satu-satunya indikator bahwa memori yang disampaikan benar-benar akurat. Kemampuan seorang subjek dihypnosis (hypnotic susceptibility) turut berpengaruh pada penciptaan memori.
Walaupun hypnosis tidak sepenuhnya menyebabkan distorsi informasi, namun hypnosis dapat “menyetir” subjek pada kekeliruan informasi, kesalahan informasi bahkan membuat-buat informasi (confabulation). Distorsi memori juga dapat disebabkan karena motivasi subjek untuk menyenangkan si praktisi.
Pengekangan memori
Memori dapat dimunculkan bahkan dirubah secara permanen. Dalam beberapa konteks hal ini sangat serius utamanya jika dilihat dalam konteks forensik (Orne, 1979). Memori dapat dimunculkan, dihapus dan diciptakan oleh kejadian yang terjadi selama atau setelah waktu encoding, dalam periode penyimpanan, atau dalam proses pemanggilan kembali. Mengingat hal tersebut, maka tidak berlebihan kiranya jika kemudian pengekangan (repression) dan pemisahan (dissociation) merupakan proses kunci pada beberapa pendekatan terapi. Berdasar teori ini memori yang traumatik dapat diblokade secara tanpa sadar dan hal ini mengarahkan orang pada tidak memiliki memori berkenaan dengan hal traumatik tersebut. Namun memori dari kejadian yang traumatik ini dapat kemudian diakses kembali pada saat yang lain. Harap diingat bahwa tidak ada satu pernyataan ilmiah pun yang menghubungkan antara trauma dengan memori (McConkey & Sheehan, 1995). Pernyataan yang ada lebih menekankan pada memori yang disampaikan secara spontan atau setelah prosedur terapi dapat akurat, tidak akurat, dibuat-buat atau gabungan antara semuanya.
Berhubungan dengan kesimpulan tersebut, saat ini semakin banyak pengakuan dari subjek yang menjalani sesi terapi tanpa memori mengenai pelecehan seksual sebelumnya, dan setelah proses terapi mendapatkan berbagai detil mengenai memori pelecehan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga. Banyak dari subjek tersebut yang kemudian menyakini bahwa memorinya merupakan suatu yang benar-benar meyakinkan yang mana telah dipulihkan melalui hypnosis.
Banyak literatur yang mempertanyakan keakuratan dari memori yang telah lama, seperti yang dikemukakan oleh (Loftus & Ketcham, 1994) dan (Neisser & Harsch, 1992). Dari literatur tersebut didapatkan bahwa kejadian atau informasi yang teringat dari masa lampau sering kali tidak muncul seperti apa yang sebenarnya terjadi. Memori dari suatu kejadian di masa lampau, utamanya memori dari masa kecil, sangat dimungkinkan untuk terdistorsi bahkan mengalami kekeliruan.
Terminologi “Recovered Memory Therapy” menunjukan suatu jenis terapi berkenaan dengan memori dari masa lampau. Sebenarnya terminologi yang lebih tepat adalah “recovery of therapeutic purposes of repressed memories” atas suatu kejadian. ontoh untuk hal ini seperti pelecehan seksual yang sering kali diasosiasikan dengan ritual satanik atau manifestasi dari Multiple Personality Disorder (MPD).
Pelecehan dan berbagai issue lainnya yang terlupakan bukan berarti represi atas kejadian tersebut. Memori dapat saja dihindari, namun bukan berarti tidak dapat diakses. Untuk hal ini, satu individu dapat melakukannya lebih baik dari individu yang lain.
Terapi bisa saja memberikan akses pada memori dan memberikan laporan berkenaan dengan memori yang bersangkutan. Terapi dapat pula memberikan masukan, petunjuk, dan sugesti tentang berbagai hal yang lebih pas, lebih masuk pada suatu kejadian. Dengan demikian maka sebenarnya terapi pun dapat saja mendistorsi suatu memori yang akurat.
Hypnosis yang digunakan untuk tujuan terapeutik perlu diperhatikan benar-benar aplikasinya. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan hubungan antara memori dan hypnosis antara lain: asosiasi antara emosi dan pemanggilan ulang informasi, implikasi dari kekeliruan dalam hypnosis, kemungkinan konfirmasi atau sugesti mengenai pelecehan mungkin saja secara tidak sengaja terkomunikasikan kepada subjek, dan interpretasi atas “bukti” sesi yang mana bisa tidak konsisten dengan data ilmiah.
Penanan emosi sangatlah signifikan utamanya dalam kaitannya dengan tujuan forensik, di mana kondisi baik subjek dapat terancam oleh prosedur forensik yang diadopsi oleh praktisi. Berkaitan dengan uraian di atas mengenai hubungan antara emosi dan memori, stres yang dialami oleh individu saat pemanggilan ulang informasi (yang mungkin) relevan, memunculkan pertanyaan apakah stress lanjutan diperbolehkan dalam pencarian informasi yang memiliki tujuan legal.
Ketika asosiasi antara memori dan hypnosis terlibat, maka perhatian khusus (secara teknis dan klinis) diperlukan pada reabilitas pelaporan memori. Pada konteks teknis, diperlukan prosedur khusus yang bertujuan untuk menentukan apakah pelaporan benar-benar dapat dipercaya (contohnya pemeriksaan independen pada informasi yang disampaikan saat hypnosis). Ketika reputasi personal dapat terpojok, contohnya oleh pemunculan ulang informasi mengenai pelecehan, maka praktisi perlu memastikan bahwa segala informasi yang disampaikan harus benar-benar akurat.
Kesimpulan
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya (Sheehan & McConkey, 1993) hypnosis bukan hanya komunikasi dalam artian yang biasa. Hypnosis sering kali berkaitan dengan perubahan radikal dalam pemikiran individu yang dapat muncul pada berbagai konteks sosial yang berbeda-beda, termasuk di dalamnya terapi. Subjek yang dihypnosis sering kali tidak memiliki kemampuan untuk menganalisa secara kritis atas informasi yang disampaikan saat sesi hypnosis berlangsung (Kihlstrom, 1985). Hal berimplikasi pada aplikasi hypnosis untuk tujuan klinis. Walaupun hypnosis dapat menambahkan kuantitas informasi yang disampaikan, namun kembali lagi tidak memberikan penekanan pada keakuratan ataupun ketidakauratan atas informasi yang disampaikan.
Referensi
* Echabe, A. E. & Rovia, D. P. (1989). Social representations and memory: The case of AIDS. European J. Soc. Psychol., 19, 586 - 595.
* Ceci, S. J., Ross, D. F. & Toglia, M. P. (1987). Suggestibility of children’s memory: Psycholegal implications. J. Exp. Psychol: General, 116, 38 - 49.
* McConkey, K. M., Labelle, L., Bibb, B. C. & Bryant, R. A. (1990). Hypnosis and suggested pseudomemory: The relevance of test context. Aust. J. Psychol., 42, 197 - 206.
* Sheehan, P. W., Statham, D. & Jamieson, G. A. (1991). Pseudomemory effects over time in the hypnotic setting. J. Abnorm. Psychol., 100, 39 - 44.
* Spanos, N. P., Gwynn, M. I., Comer, S. L., Baltruweit, W. J. & de Groh, M. (1989). Are hypnotically induced pseudomemories resistant to cross-examination? Law and Human Behaviour, 13, 271 - 289.
* Shor, R. E. (1962). Three dimensions of hypnotic depth. Int. J. Clin. Exp. Hypn., 10, 23 - 28.
* Sarbin, T. R. & Coe, W. C. (1972). Hypnosis: A Social Psychological Analysis of Influence Communication. New York: Holt, Rinehart & Winston.
* Gill, M. M. & Brenman, M. (1961). Hypnosis and Related States. New York: International Universities Press.
* Diamond, M. J. (1988). Assessing arhaic involvement: Toward unravelling the mystery of Erickson’s hypnosis. Int. J. Clin. Exp. Hypn., 36, 141 - 156.
* Sheehan, P. W. (1980). Factors influencing rapport in hypnosis. J. Abnorm. Psychol,. 89, 263 - 281.
* Orne, M. T. (1979), The use and misuse of hypnosis in court. Int. J. Clin. Exp. Hypn., 27, 311 - 341.
* McConkey, K. M. & Sheehan, P. W. (1995). Hypnosis, Memory, and Behaviour in Criminal Investigation. New York: Guilford Press.
* Loftus, E. F. & Ketcham, K. (1994). The Myth of Repressed Memory: False Memory and Allegations of Sexual Abuse. New York: St. Martin’s Press.
* Neisser, U. & Harscg, N. (1992) . Phantom flash bulbs: False recollections of hearing the news about Challenger. In. E. Winograd & U. Neisser (Eds), Affect and Accuracy in Recall: Studies of ‘Flash Bulb’ Memories (pp. 9 - 31). New York: Cambridge University Press.
* Sheehan, P. W. & McConkey, K. M. (1993). Forensic hypnosis: The apllication of ethical guidelines. In J. W. Rhue, S. J. Lynn, & I. Kirsch (Eds) Handbook of Clinical Hypnosis (pp. 719 - 738). Washington, DC: American Psychological Association.
* Kihlstrom, J. E. (1985). Hypnosis. Ann. Rev. Psychol., 36, 385 - 418.
Saya Yovan P. Putra, CHt. setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment